Kamis, 12 Desember 2013

Memasyarakatkan Konservasi Air

Bagaimana Memasyarakatkan Konservasi Air

banjir  dan  kekeringan  sejak  dini  sesungguhnya  jauh  lebih  berharga  dari  pada
diskusi  berkepanjangan  saat  bencana  datang.  Dan  yang  lebih  penting  adalah  awareness
masyarakat  akan  ancaman  banjir  dan  kekeringan  yang  lebih  hebat  dan  peran  aktif
masyarakat untuk mengawetkan (konservasi) air dan memanfaatkan secara efisien.

Untuk  memenuhi  kebutuhan  minum,  masak,  cuci,  dan  kebutuhan  lainnya,  setiap  orang
membutuhkan air  kurang lebih 2600 liter/kapita/hari atau setara dengan kurang lebih 950
m3/kapita/tahun. Walaupun potensi ketersediaan air permukaan (terutama dari sungai) di
Indonesia rata-rata mencapai kurang lebih 15.500 m3/kapita/tahun, tetapi ketersediaanya
sangat bervariasi menurut tempat dan waktu.

Pulau  Jawa  yang  penduduknya  mencapai  65%  potensi  air  tawar  nasional.  Faktanya,
jumlah ketersediaan air di P. Jawa yang mencapai 30.569,2 juta m3/tahun tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya di pulau  yang terdapat
penduduknya ini selalu mengalami defisit paling tidak sejak 1995 hingga nanti 2015,  dan
defisit  air  tersebut     mengalami  peningkatan.  Demikian  juga  halnya  di  wilayah  lain,
walaupun  pada  tahun  yang  sama  masih  tergolong  surplus,  namun  kelebihan  air  tersebut
jumlahnya   menurun.   Demikian   juga   ketersediaan   sangat   berfluktuasi   antara   musim
peghujan  dan  musim  kemarau.  Sebagai  contoh,  pada  musim  penghujan  debit  air  di  S.
Cimanuk  mencapai  600  m3/dt  tetapi  hanya  20  m3/dt  pada  musim  kemarau  (Roestam
Sjarief, 2003, Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Depkimpraswil).

Alih    fungsi    lahan    di    daerah    penyangga,    makin    meluasnya    lahan    kritis    (data
Depkimpraswil menunjukkan 13,1 juta ha tahun 1992 dan sekarang menjadi sekitar 18,5
juta ha) dan makin luasnya penyebaran daerah aliran sungai (DAS) kritis (22 DAS kritis
pada  tahun  1984,  menjadi  59  DAS  kritis  tahun  1998),  penebangan  liar  (illegal   loging)
pada areal penyangga dan penyebab-penyebab lain   berubahnya fungsi DAS adalah awal
dari   hilangnya   volume   besar   air   melalui   aliran   permukaan   (surface   runoff)   yang
seharusnya  dapat  dikonservasi  untuk  dapat  dimanfaatkan  oleh  masyarakat.  Faktanya
adalah   makin   meningkatnya   defisit   air   diwilayah   kekurangan   air   atau   menurunnya
ketersediaan air di daerah surplus. Mengeringnya kantong-kantong air di daerah cekungan
di kawasan DAS adalah indikasi nyata dari makin hilangnya fungsi hidrologi DAS.

Air

Sudah banyak penelitian dan kajian tentang manfaat konservasi, tetapi memasyarakatkan
teknologi    ini    pada    masyarakat    untuk    diimplementasikan    secara    berkelanjutan
(sustainable) masih tetap menjadi angan-angan yang belum terwujud. Faktanya banjir dan
kekeringan masih sulit dikendalikan dan ditanggulangi.
Beberapa  teknik  konservasi  air  seperti  pemanfaatan  embung  (small  water  reservoir),
sumur resapan, rorak, dam parit, atau cara lain untuk mengurangi penguapan (evavorasi)
dengan   memanfaatkan   mulsa   (mulch)   adalah   teknik   konservasi   yang   sudah   dikenal
khalayak. Dalam skala DAS, penetapan kawasan lindung untuk upaya konservasi air juga
sudah  lama  diperkenalkan  oleh  berbagai  lembaga  penelitian  dan  instansi  pemerintah
seperti Balai Penelitian Tanah, Bogor dan Departemen Kehutanan. Manfaat penghutanan
kembali  kawasan     terbuka  di  daerah  berlereng  di  DAS  sesungguhnya  telah  banyak
dirasakan  baik  masyarakat  di  hulu  maupun  di  hilir,  yakni  makin  banyaknya  sumber-
sumber air sebagai dampak dari meningkatnya resapan air di kawasan tersebut.

Pendeknya   manfaat   tindakan   konservasi   air   sudah   begitu   jelas,   namun   bagaimana
mengimplementasikannya kemasyarakat luas agar tindakan ini menjadi kebutuhannya dan
bisa  berlanjut  (sustuinable)  masih  menjadi  pertanyaan  besar.  Yang  terpenting  adalah
bagaimana  menanamkan  kepedulian  (awareness)  masyarakat  terhadap  air  dan  iar  tidak
selamanya  akan  langgeng  di  sekeliling  mereka  tanpa  tindakan  konservasi.  Masyarakat
sadar bagaimana pentingnya air pada saat sedang langka namun sedikit sekali yang peduli
untuk memanen air (water harvesting) pada saat musim hujan dan memanfaatkan secara
efisien.   Kebanyakan       mereka   hanya   berfikir   untuk   diri   sendiri   dari   pada   ikut
memperhatikan atau memikirkan kepentingan masyarakat lain.

Seyogyanya ada program nyata dari pemerintah untuk mengajak masyarakat untuk peduli
air, tidak hanya ajakan sebatas pemasyarakatan slogan-slogan "Hari Hemat Air" dan lain
sebagainya. Namun program nyata seperti diwajibkannya setiap pemukim untuk membuat
sumur resapan di setiap rumah, menggalakan program pertanaman, membatasi eksploitasi
berlebih terhadap air bawah muka tanah (groundwater) dan kegiatan-kegiatan lain serupa.

Selain  itu,  menata  kebali  kawasan  DAS  sesuai  dengan  karakteristiknya  perlu  mendapat
prioritas. Dukungan kebijakan dan peraturan perundangan sangat diperlukan dalam upaya
ini. Sebagai contoh, masyarakat di kawasan hulu DAS telah menginvestasikan biaya yang
tidak sedikit untuk tindakan konservasi air (dan tanah). Berfungsi bangunan konservasi air
dan tanah di hulu akan berdampak pada terkendalinya aliran permukaan dan mengurangi
volume dan intensitas air kiriman ke kawasan hilir. Secara tidak langsung masyarakat di
hilir  tersebut  ditarik  "sejumlah  biaya"  untuk  diserahkan  dan  membantu  masyarakat  di
hulu. Dengan demikian seluruh komponen masyarakat dari hulu hingga hilir mempunyai
hak  dan  kewajiban  yang  sama  atas  pengelolaan  sumberdaya  air.  Meluasnya  alih  fungsi
 
penyangga  di  hulu  menjadi  perumahan  dan  fasilitas  umum  sudah  saatnya
dibatasi, dan sangsi terhadap pelanggar harus secara konsisten diterapkan.

Benturan-benturan  kepentingan (conflict of interest) terhadap pemanfaatan, penyelamatan
dan  pengaturan  potensi  sumberdaya  air  yang  tidak  bisa  dihindarkan  hendaknya  disadari
dan disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat. Sebagai contoh, pengendalian
aliran  permukaan  (surface  runoff)  untuk  pengendalian  banjir  akan  benturan  dengan
kepentingan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik (hydropower) yang membutuhkan
runoff   yang   besar.   Solusinya   harus   arif.   Kedepan,   untuk   satu   kawasan   DAS   yang
berpotensi  sumber  airnya,  pembangunan  pembangkit  listrik  tenaga  air  sebaiknya  tidak
terlalu  besar  kapasitasnya,  sehingga  potensi  air  yang  ada  bisa  dimanfaatkan  juga  untuk
keperluan sumber irigasi dan keperluan lainnya. Pemanfaatan energi lain (sinar matahari,
gas bumi dll) untuk pembangkit listrik akan membantu mengatasi kebutuhan listrik secara
nasional.

Peran  kelembagaan  dalam  memasyarakatkan  konservasi  air  sangat  penting.  Pendekatan
masyarakat (community based) dalam implementasi teknologi konservassi air sangat layak
dikembangkan. Dukungan kebijakan, aturan dan hukum di dalam mengelola sumberdaya
air  khususnya  tindakan  konservasi  air  akan  memberikan  jaminan  masyarakat  akan  hak
atas  air  dan  kewajibannya  mengelola  sumberdaya  air,  sehingga  diharapkan  masyarakat
makin  peduli  dan  berperan  aktif  dalam  melestarikan  sumberdaya  air.  Keterpaduan  antar
wilayah  dan  instansi  yang  menangani  pengelolaan  sumberdaya  air  sangat  diperlukan
khusunya untuk pengelolaan DAS. Hal ini kerena satu DAS bisa mencakup lebih dari satu
wilayah, sementara pengelolaannya harus satu perencanaan.

D r .    K a s d i    S u b a g  y o n o
Penulis adalah peneliti Konservasi Tanah dan
Pengelolaan Air Balai Penelitian Tanah, Bogor
(Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 19 Januari 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Night Diamond Bloody Red - Busy Flicker