Selasa, 18 September 2012

MEKANIKA TANAH


T A N A H
1.    Umum
Pandangan Teknik Sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang relatif lepas (loose), yang terletak di atas batuan dasar (bedrock). Ikatan antara butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zar organik, atau oksida-oksida yang mengendap di antara partikel-partikel. Ruang di antara partikel-partikel dapat berisi air, udara, ataupun keduanya.
Proses terjadinya tanah.
Proses pelapukan batuan atau proses geologi lainnya yang terjadi di dekat permukaan bumi membentuk tanah.
Proses pembentukan tanah dari batuan induknya: proses fisik maupun proses kimia.
  1. Proses secara fisik : proses batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dapat terjadi akibat adanya pengaruh erosi, angin, air, manusia, atau hancurnya partikel tanah akibat perubahan suhu atau cuaca. Partikel-partikel dapat berbentuk bulat, bergerigi maupun bentuk-bentuk di antaranya.
  2. Proses secara kimia : proses pelapukan terjadi oleh pengaruh oksigen, karbon dioksida, air (terutama yang mengandung asam atau alkali) dan proses-proses kimia yang lain.
Jenis tanah berdasar letak hasil pelapukan
  1. Tanah Residual : hasil pelapukan masih berada di tempat asalnya (residual soil)
  2. Tanah terangkut : hasil pelapukan telah berpindah tempatnya (transported soil).
Istilah jenis tanah
  1. Istilah jenis tanah yang menggambarkan ukuran partikel: kerikil, pasir, lempung, lanau, atau lumpur.
  2. Istilah jenis tanah yang menggambarkan sifat tanah yang khusus. Sebagai contoh, lempung adalah jenis tanah yang bersifat kohesif dan plastis, sedang pasir digambarkan sebagai tanah yang tidak kohesif dan tidak plastis.
Dalam kondisi alam, kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran lebih dari satu macam ukuran partikelnya.

Ukuran partikel tanah dapat bervariasi dari lebih besar dari 100 mm sampai dengan lebih kecil dari 0,001 mm. Gambar 1. menunjukkan batas interval dari ukuran butiran tanah lempung, lanau, pasir, dan kerikil dari Bureau of soil USDA, ASTM, M.I.T , dan International Nomenclature.





Fase Tanah
Secara umum, tanah dapat terdiri dari dua atau tiga bagian, kemungkinan tersebut adalah:
a)      Tanah kering, hanya terdiri dari dua bagian, yaitu butir-butir tanah dan pori-pori udara.
b)      Tanah jenuh juga terdapat dua bagian, yaitu bagian padat atau butiran dan air pori.
c)      Tanah tidak jenuh terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian padat atau butiran, pori-pori udara, dan air pori. 
Bagian-bagian tanah dapat digambarkan dalam bentuk diagram fase, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.


Gambar 2  Diagram fase tanah

Gambar 2a  memperlihatkan elemen tanah yang mempunyai volume V dan berat total W, sedang Gambar 2b  memperlihatkan hubungan berat dan volumenya.
Dari gambar tersebut dapat dibentuk persamaan berikut :
W  =  WS  +  WW      ( 1 )
dan
V  =  Vs  +  Vw  +  Va       ( 2 )
V­v  =  Vw  +  Va       ( 3 )
dengan :
Ws     =  berat butiran padat
Vw     =  berat air
Vs      =  volume butiran padat
Vw     =  volume air
Va      =  volume udara
Wa (berat udara) dianggap sama dengan nol.


Hubungan-hubungan antar parameter tanah tersebut di atas adalah sebagai berikut :
Kadar air ( w ), yakni perbandingan antara berat air  ( Ww ) dengan berat butiran ( Ws ) dalam tanah tersebut, dinyatakan dalam persen.

   (4)

Porositas ( n ), yakni perbandingan antara volume rongga ( Vv ) dengan volume total ( V ). dapat digunakan dalam bentuk persen maupun desimal.
( 5 )
Angka pori ( e ), perbandingan volume rongga ( Vv ) dengan volume butiran ( Vs ). Biasanya dinyatakan dalam desimal.
( 6 )
Berat volume basah ( gb ), adalah perbandingan antara berat butiran tanah termasuk air dan udara ( W ) dengan volume tanah ( V ).
( 7 )
dengan
W = Ww + Ws + Wv ( Wv = berat udara = 0 ). Bila ruang udara terisi oleh air seluruhnya (Va = 0), maka tanah menjadi jenuh.
Berat volume kering ( gd ), adalah perbandingan antara berat butiran ( Ws ) dengan volume total ( V ) tanah.
( 8 )
Berat volume butiran padat ( gs ), adalah perbandingan antara berat butiran padat ( Ws ) dengan volume butiran padat ( Vs ).
( 9 )
Berat jenis ( specific gravity ) tanah ( Gs ), adalah perbandingan antara berat volume butiran padat ( gs ) dengan berat volume air ( gw ) pada temperatur 4o C.
( 10 )
Gs tidak berdimensi. Berat jenis dari berbagai jenis tanah berkisar antara 2,65 sampai 2,75. Nilai berat jenis sebesar 2,67 biasanya digunakan untuk tanah-tanah tak berkohesi. Sedang untuk tanah kohesif tak organik berkisar di antara 2,68 sampai 2,72. Nilai-nilai berat jenis dari berbagai jenis tanah diberikan dalam Tabel 1.
Tabel  1.  Berat jenis tanah
Macam Tanah
Berat Jenis  Gs
Kerikil
Pasir
Lanau tak organik
Lempung organik
Lempung tak organik
Humus
Gambut
2,65  -  2,68
2,65  -  2,68
2,62  -  2,68
2,58  -  2,65
2,68  -  2,75
1,37
1,25  -  1,80

Derajat kejenuhan ( S ), adalah perbandingan volume air ( Vw) dengan volume total rongga poritanah ( Vv ). Biasanya dinyatakan dalam persen.
                        ( 11 )

Tanah jenuh, maka S = 1.  Berbagai macam derajat kejenuhan tanah ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel  2.  Derajat kejenuhan dan kondisi tanah
Keadaan Tanah
Derajat Kejenuhan  S
Tanah kering
Tanah agak lembab
Tanah lembab
Tanah sangat lembab
Tanah basah
Tanah Jenuh
0
>  0  -  0,25
0,26  -  0,50
0,51  -  0,75
0,76  -  0,99
1

Dari persamaan-persamaan tersebut di atas dapat disusun hubungan antara masing-masing persamaan, yaitu :
(a)     Hubungan antara angka pori dengan porositas.

    ( 12 )

     ( 13 )




(b)         Berat volume basah dapat dinyatakan dalam rumus berikut
     ( 14 )

(c)         Untuk tanah jenuh air  (  S = 1 )
     ( 15 )

(d)         Untuk tanah kering sempurna
     ( 16 )

(e)          Bila tanah terendam air, berat volume dinyatakan sebagai  g¢, dengan

                                                            g¢  =  g sat  −  g w        ( 17 )
                                                                                                          
Bila   g w = 1, maka  g¢  =  g sat  −  1         ( 18 )
Nilai-nilai porositas, angka pori dan berat volume pada keadaan asli di alam dari berbagai jenis tanah diberikan oleh Terzaghi (1947) seperti terlihat pada Tabel  3.

Tabel 3.  Nilai n, e, w, g d  dan g b  untuk tanah keadaan asli lapangan.
Macam tanah
n
( % )
E
w
( % )
gd(g / cm3)
gb(g / cm3)
Pasir seragam, tidak padat
Pasir seragam, padat
Pasir berbutir campuran, tidak padat
Pasir berbutir campuran, padat
Lempung lunak sedikit organis
Lempung lunak sangat organis
46
34
40
30
66
75
0,85
0,51
0,67
0,43
1,90
3,0
32
19
25
16
70
110
1,43
1,75
1,59
1,86
1,89
2,09
1,99
2,16
1,58
1,43

(f)          Kerapatan relatif ( relative density )
     ( 19 )

dengan
emak   =  kemungkinan angka pori maksimum
emin   =  kemungkinan angka pori minimum
e       =  angka pori pada keadaan aslinya
Angka pori terbesar atau kondisi terlonggar dari suatu tanah disebut dengan angka pori maksimum ( emak ). Angka pori maksimum ditentukan dengan cara menuangkan pasir kering dengan hati-hati dengan tanpa getaran ke dalam cetakan ( mold ) yang telah diketahui volumenya. Dari berat pasir di dalam cetakan, emak dapat dihitung. 
Angka pori minimum ( emin ) adalah kondisi terpadat yang dapat dicapai oleh tanahnya. Nilai emin dapat ditentukan dengan menggetarkan pasir kering yang diketahui beratnya, ke dalam cetakan yang telah diketahui volumenya, kemudian dihitung angka pori minimumnya.
Pada tanah pasir dan kerikil, kerapatan relatif ( relative density ) digunakan untuk menyatakan hubungan antara angka pori nyata dengan batas-batas maksimum dan minimum dari angka porinya.  Persamaan ( 19 ) dapat dinyatakan dalam persamaan berat volume tanah, sebagai berikut :
     ( 20 )
atau 
     ( 21 )

Dengan cara yang sama dapat dibentuk persamaan :
     ( 22 )
dan   
     ( 23 )

dengan gd (mak), gd (min), dan gd berturut-turut adalah berat volume kering maksimum, minimum, dan keadaan aslinya.  Substitusi persamaan ( 20 ) sampai ( 23 ) ke dalam persamaan (19 ) memberikan,
(  kerapatan relatif biasanya dinyatakan dalam %)        ( 24 )

gd = 0              berat volume kering                gd (min)                                    gd                                         gd (mak)







e = ∞                   angka pori                           emak                              e                                emin
kerapatan relatif       0                                                                  100

Dr (%)

0               kepadatan relatif  Rc (%)            Rc ≈ 80                                                                              100

Gambar 3.  Perbedaan kerapatan relatif dan kepadatan relatif

Kepadatan relatif ( relative compaction ) adalah perbandingan berat volume kering pada kondisi yang ada dengan berat volume kering maksimumnya atau,
     ( 25 )

Perbedaan antara kerapatan dan kepadatan relatif diberikan dalam Gambar 3.
Hubungan antara kerapatan relatif dengan kepadatan relatif adalah :
     ( 26 )
dengan   R 0  =  gd (min)  /  gd (mak)  
Lee dan Singh (1971) memberikan hubungan antara kepadatan relatif dan kerapatan relatif sebagai :
   R c  =  80  +  0,2 Dr     ( 27 )
dengan  Dr  dalam persen

Contoh soal 1 :
Pada kondisi asli di lapangan, tanah mempunyai volume 10 cm3  dan berat basah 18 gram.  Berat tanah kering oven adalah 16 gram.  Jika berat jenis tanah 2,71, hitung kadar air, berat volume basah, berat volume kering, angka pori, porositas, dan derajat kejenuhannya.
Penyelesaian :
(a)          Kadar air  
(b)         Berat volume basah :  gb  =  W / V  =  18 / 10  =  1,8 gram / cm3
(c)          Berat volume kering :  gd  =  Ws / V  =  16 / 10  =  1,60 gram / cm3
(d)         Angka pori
Vv  =  V  -  Vs   =  10  -  5,90  =  4,10 gram / cm3 
e  =  4,10  /  5,90  =  0,69
(e)          Porositas  :
(f)           Derajat kejenuhan  :    S  =  Vw  / Vv
 Vs  =  Ww  /  gw  =  ( 18 – 16 ) / 1  =  2 cm3 
      jadi,  S  =  2 / 4,10  =  0,49  =  49 %

Contoh  soal 2 :
Tanah mempunyai angka pori  =  0,70,  w = 20% dan berat jenis = 2,65.  Hitung n, gb, gd dan
S4,10  /  5,90  =  0,69
(a)           Porositas  :  
(b)          Berat volume basah  :        =   1,87 gram / cm3
(c)           Berat volume kering :  
 (d)          Derajat kejenuhan  :      S  =  ww  Gve  =  0,20  x  2,65 / 0,70  =  76 %
          Perhatikan, saat tanah menjadi jenuh  eS  =  w  Gs.

Contoh soal  3
Tanah pada kondisi  n =  0,45,  Gs =  2,68  dan  w = 12%.  Tentukan berat air yang harus ditambahkan untuk 12 m3 tanah, supaya menjadi jenuh.

Penyelesaian :
n / ( 1 – n )  =  0,45 /  ( 1 – 0,45 )  =  0,82


Berat air yang harus ditambahkan per meter kubik :
gsat  -  gb  =  1,92  -  1,65  =  0,27  ton / m3
Jadi untuk membuat tanah menjadi jenuh, harus ditambahkan air sebesar :
0,27 x  12,1  =  3,24

Contoh soal 4:
Data dari pengujian di laboratorium pada benda uji jenuh menghasilkan angka pori = 0,45 dan berat jenis = 2,65.  Untuk keadaan ini, tentukan berat volume basah dan kadar airnya.

Penyelesaian :
Benda uji dalam kondisi jenuh. Jadi, seluruh ruang pori terisi dengan air.
Vv / Vs  =  0,45
Tapi  Vvdan Vs  belum diketahui, Pada Gambar C.1, anggap Vs  =  1.  Karena itu, untuk kondisi jenuh Vve Vs ;
V  =  Vv  +  e Vs  =  1  +  0,45  x  1  =  1,45

Gambar  C.1

Ws    =   Vs Gs gw  =  1  x  2,65  x  1  =  2,65 ton
Ww    =   Vw  gw  =  0,45  x  1  =  0,45 ton
W      =   Ws  +  Ww  =  2,65  +  0,45 =  3,1 ton
g b     =   W / V  =  3,1 / 1,45  =  2,14 t/m3
w      =   Ww / Ws  =  0,45 / 2,65 = 17 %
jadi, tanah ini mempunyai berat volume basah 2,14 t/m3 dan kadar air sebesar 17 %

Contob soal 5 :
Pada contoh benda uji asli (undisturbed sample), 0,027 m3 tanah yang diperoleh dari lapangan mempunyai berat 51,6 kg. Berat kering tanah = 42,25 kg. Berapakah berat volume efektif tanah ini, jika tanah terendam di bawah muka air tanah ? Diketahui  pula berat jenis = 2,70.
Penyelesaian :
Vs  =  Ws Gs gw  =  42,25  x  10-3  / (2,7 x 1) = 0,0156 m3
Vv  =  V -  Vs  =  0,027 - 0,0156  =  0,0114 m3
e    =  Vv / Vv  =  0,0114 / 0,0156 = 0,73
g ¢   =  ( Gs– 1 ) / ( l + e )  =  ( 2,7 – 1 ) / ( l + 0,73 )  =  0,98 t/m3
Jadi, berat efektif tanah ini = g ¢  =  0,98 t/m3.

Contob soal  6 :
Suatu contoh tanah tak jenuh yang diambil dari lokasi tanah timbunan, mempunyai kadar air 20% dan berat volume basah 2 g/cm3. Dengan menganggap berat jenis tanah 2,7 dan berat jenis air 1, hitung derajat kejenuhan dari contoh tersebut., Jika tanah kemudian menjadi jenuh, hitung berat volumenya.

Penyelesaian :
Dengan mengambil berat butiran padat = 1 gram = Ws,
Maka berat air  = Ww = wWs   =  0,2  x  1 =  0,2 gram
Berat total  =  W  = Ww + Ws  =  1 + 0,2 = 1,2 gram.
Berat volume basah  =  W / V  =  2 gram / cm3
Maka volume total  =  V  =  1,2 / 2  =  0,6 cm3
Volume udara    =  Vv= 0,6 -  ( Vw -  Vs )
                           =  0,6 – ( 0,2 + 1 / 2,7 ) = 0,03 cm3
Derajat kejenuhan S  =  Vw / Vs= 0,2 / ( 0,2 + 0,03 ) = 87 %
Angka pori  e  =  Vv / Vs  =  0,23 / 0,37 = 0,62








Contoh soal 7 :
Dari lokasi pengambilan bahan timbunan, diperoleh data bahwa angka poritanah tersebut 1,2. Kalau jumlah material yang dibutuhkan untuk timbunan 15.000 m3 dengan angka pori0,8, berapakah jumlah material yang harus disediakan pada lokasi pengambilan ?

Penyelesaian :
Keadaan di lokasi pengambilan  e 2= 1,2
Keadaan lokasi penimbunan  e 1= 0,8
Jika V1, adalah volume pada lokasi penimbunan dan V2adalah volume pada lokasi pengambilan, maka :
V1 / V2  =  ( 1 + e l ) / ( l + e2 )
Ingat bahwa  V  =  Vs+ Vv = Vs ( 1+ e ).  Dalam hal ini Vs  tetap konstan.
Jadi, tanah yang harus disediakan pada lokasi pengambilan = 18.333 m3.

Contoh soal 8 :
Proyek bendungan memerlukan tanah padat 200.000 m3 dengan angka pori 0,60. Dari peta terlihat dua lokasi yang memungkinkan untuk pengambilan tanah ini. Dari survai di kedua lokasi, diperoleh data sebagai berikut :
Lokasi pengambilan
Angka pori
Upah angkutan per m3
I
II
0,90
1,65
Rp.  3000
Rp.  2500

Penyelesaian :
Jika,   V1    =   volume yang dibutuhkan pada lokasi I.
           V2    =   volume yang dibutuhkan pada lokasi II
Vs, di kedua lokasi sama, maka biaya pengambilan tanah pada lokasi pengaambilan I dapat dihitung dengan :
V1 / V =  ( 1 + e l ) / ( l + e )




Upah angkutan total  =  237.500  x  Rp. 3000  =  Rp.  712.500.000
Lokasi pengambilan II :




Upah angkutan total  =  331.250  x  Rp. 2500  =  Rp. 828.125.000.  Jadi, lokasi I lebih ekonomis, walaupun upah angkutan per m3 lebih mahal.

Contoh soal 9 :
Buktikan :
(a)   Persamaan   ( 16 )
(b)   Persamaan   ( 14 )
(c)   Persamaan   ( 15 )

Penyelesaian :
Dengan melihat fase Gambar  C.3.  Dianggap  Vs  =  1


Gambar  C.3

(a)    Persamaan  ( 16 ) :
         gd  =  W/  V
         Karena,  W=  Gs  Vgw
         maka :  

(b)    Persamaan  ( 14 ) :
 
       


         
           Karena  W=  wWdan  W= Gs gw Vs , maka
                




(c)    Persamaan  ( 15 ) :
         Volume air :  W=  SV=  S
         Berat air  :  W=  gw  Vw  =  wWwGs g Vs
         atau   gw Se  =  wGs g Vs
         Karena Vs = 1 dan g = 1,  maka Se = wGs
Persamaan ini merupakan persamaan yang sangat penting untuk hitungan-hitungan. Dari persamaan tersebut dapat dibentuk persamaan lain, yaitu :
Dari



Pada waktu tanah mencapai jenuh,  S  =  1



Contob soal 10 :
Tanah pasir yang akan digunakan untuk urugan kembali (back fill) mempunyai berat volume 2 t/m3 dan kadar air 10%. Angka pori dalam keadaan paling longgar ( e mak ) = 0,64 dan dalam keadaan paling padat ( e min ) = 0,39. Tentukan angka pori tanah urugan kembali dan kerapatan relatifnya ! Diketahui pula tanah urugan kembali mempunyai berat jenis 2,65.

Penyelesaian :
Berat volume basah :





                                   



Kerapatan relatif :         







Jadi, angka pori tanah urugan kembali  =  0,46  dan  kerapatan relatif  Dr  =  0,72.


1.3      Mineral Lempung
1.3.1     Susunan Tanah Lempung
Pelapukan akibat reaksi kimia menghasilkan susunan kelompok partikel berukuran koloid dengan diameter butiran lebih kecil darl 0,002 mm, yang disebut mineral lempung. Partikel lempung dapat berbentuk seperti lembaran yang mempunyai permukaan khusus. Karena itu, tanah lempung mempunyai sifat sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya permukaan. Umumnya, terdapat kira-kira 15 macam mineral yang diklasifikasikan sebagai mineral lempung ( Kerr, 1959). Di antaranya terdiri dari kelompok-kelompok : montmorillonite, illite, kaolinite, dan polygorskite. Kelompok yang lain, yang perlu diketahui adalah: chlorite, vermiculite, dan halloysite.
Susunan kebanyakan tanah lempung terdiri dari silika tetrahedra dan aluminium oktahedra (Gambar 1a). Silika dan aluminium secara parsial dapat digantikan oleh elemen yang lain dalam kesatuannya, keadaan ini dikenal sebagal substitusi isomorf. Kombinasi dari susunan kesatuan dalam bentuk susunan lempeng disajikan dalam simbol, dapat dilihat pada Gambar 1b.


Gambar 1.  Mineral-mineral lempung

Bermacam-macam lempung terbentuk oleh kombinasi tumpukan dari susunan lempeng dasarnya dengan bentuk yang berbeda-beda.
Kaolinite merupakan mineral dari kelompok kaolin, terdiri dari susunan satu lembaran silika tetrahedra dengan satu lembaran aluminium oktahedra, dengan satuan susunan setebal 7,2 Ao (1 angstrom = 10-10 m) (Gambar 2a). Kedua lembaran terikat bersama-sama, sedemikian rupa sehingga ujung dari lembaran silika dan satu dari lapisan lembaran oktahedra membentuk sebuah lapisan tunggal. Dalam kombinasi lembaran silika dan aluminium, keduanya terikat oleh ikatan hidrogen (Gambar 2b). Pada keadaan-tertentu, partikel kaolinite mungkin lebih dari seratus tumpukan yang sukar dipisahkan. Karena itu, mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara lempengannya untuk menghasilkan pengembangan atau penyusutan pada sel satuannya.
Halloysite hampir sama dengan kaolinite, tetapi kesatuan yang berturutan lebih acak ikatannya dan dapat dipisahkan oleh lapisan tunggal molekul air. jika lapisan tunggal air menghilang oleh karena proses penguapan, mineral ini akan berkelakuan lain. Maka, sifat tanah berbutir halus yang mengandung halloysite akan berubah secara tajam jika tanah dipanasi sampai menghilangkan lapisan tunggal molekul airnya. Sifat khusus lainnya adalah bahwa bentuk partikelnya menyerupai silinder-silinder memanjang, tidak seperti kaolinite yang berbentuk pelat-pelat.


Gambar 2   (a)  Diagram skematik struktur kaolinite (Lambe, 1953)
                    (b) Struktur atom kaolinite (Grim, 1959)


Gambar 3    (a)  Diagram skematik struktur montmorillonite (Lambe, 1953)
                     (b) Struktur atom montmorillonite (Grim, 1959)

Montrnorillonite, disebut juga dengan smectite, adalah mineral yang dibentuk oleh dua lembaran silika dan satu lembaran aluminium (gibbsite) (Gambar 3a). Lembaran oktahedra terletak di antara dua lembaran silika dengan ujung tetrahedra tercampur dengan hidroksil dari lembaran oktahedra untuk membentuk satu lapisan tunggal (Gambar 3b). Dalam lembaran oktahedra terdapat subtitusi parsial aluminium oleh magnesium. Karena adanya gaya ikatan van der Waals yang lemah di antara ujung lembaran silika dan terdapat kekurangan muatan negatif dalam lembaran oktahedra, air dan ion-ion yang berpindah-pindah dapat masuk dan memisahkan lapisannya. jadi, kristal montmorillonitesangat kecil, tapi pada waktu tertentu mempunyai gaya tarik yang kuat terhadap air. Tanah-tanah yang mengandung montmorillonitesangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air, yang selanjutnya tekanan pengembangannya dapat merusak struktur ringan dan perkerasan jalan raya.
Illite adalah bentuk mineral lempung yang terdiri dari mineral-mineral kelompok illite. Bentuk susunan dasarnya terdiri dari sebuah lembaran aluminium oktahedra yang terikat di antara dua lembaran silika tetrahedra. Dalam lembaran oktahedra, terdapat subtitusi parsial aluminium oleh magnesium dan besi, dan dalam lembaran tetrahedra terdapat pula subtitusi silikon oleh aluminium (Gambar 4). Lembaran-lembaran terikat bersama-sama oleh ikatan lemah ion-ion kalium yang terdapat di antara lembaran-lembarannya. Ikatan-ikatan dengan ion kalium (K+) lebih lemah daripada ikatan hidrogen yang mengikat satuan kristal kaolinite, tapi sangat lebih kuat daripada ikatan ionik yang membentuk kristal montmorillonite. Susunan illite tidak mengembang oleh gerakan air di antara lembaran-lembarannya.


Gambar 4.  Diagram skematik struktur illite (Lambe, 1953)

1.3.2   Pengaruh Air pada Tanah Lempung
Air biasanya tidak banyak mempengaruhi kelakuan tanah nonkohesif. Sebagai contoh, kuat geser tanah pasir mendekati sama pada kondisi kering maupun jenuh air. Tetapi, jika air berada pada lapisan pasir yang tidak padat, beban dinamis seperti gempa bumi dan getaran lainnya sangat mempengaruhl kuat gesernya. Sebaliknya, tanah butiran halus khususnya tanah lempung akan banyak dipengaruhi oleh air. Karena pada tanah berbutir halus, luas permukaan spesifik menjadi lebih besar, variasi kadar air akan mempengaruhi plastisitas tanahnya. Distribusi ukuran butiran jarang-jarang sebagai faktor yang mempengaruhi kelakuan tanah butiran halus. Batas-batas Atterberg digunakan untuk keperluan identifikasi tanah ini.
Partikel-partikel lempung, mempunyai muatan listrik negatif. Dalam suatu kristal yang ideal, muatan-muatan negatif dan positif seimbang. Akan tetapi, akibat substitusi isomorf dan kontinuitas perpecahan susunannya, terjadi muatan negatif pada permukaan partikel lempungnva. Untuk mengimbangi muatan negatif tersebut, partikel lempung menarik ion muatan positif (kation) dari garam yang ada di dalam air porinya. Hal ini disebut dengan pertukaran ion-ion. Selanjutnya, kation-kation dapat disusun dalam urutan menurut kekuatan daya tarik menariknya, sebagai berikut:
Al3+  >  Ca2+ >  Mg2+  >  NH 4+  >  K+  >  H+  >  Na+  >  Li+
Urutan tersebut memberikan arti bahwa ion Al3+ dapat mengganti ion Ca2+, ion Ca2+dapat mengganti Na+, dan seterusnya. Proses ini disebut dengan pertukaran kation. Sebagai contoh : Na ( lempung )  +  CaCl 2  ®  Ca ( lempung )  +  NaCl
Kapasitas pertukaran kation tanah lempung didefinisikan sebagai jumlah pertukaran ion-ion yang dinyatakan dalam miliekivalen per 100 gram lempung kering. Beberapa garam juga terdapat pada permukaan partikel lempung kering. Pada waktu air ditambahkan pada lempung, kation-kation dan anion-anion mengapung di sekitar partikelnya (Gambar 5 ).


Gambar 5.  Kation dan anion pada partikel

Molekul air merupakan molekul yang dipolar, yaitu atom hidrogen tidak tersusun simetri di sekitar atom-atom oksigen (Gambar 6a). Hal ini berarti bahwa satu .molekul air merupakan batang yang mempunyai muatan positif dan negatif pada ujung yang berlawanan atau dipolar (dobel kutub) (Gambar 6b).


Gambar 6.  Sifat dipolar air

Terdapat 3 mekanisme yang menyebabkan molekul air dipolar dapat tertarik oleh permukaan partikel lempung secara elektrik (Gambar 7) :
(1)     Tarikan antara permukaan bermuatan negatif dari partikel lempung dengan ujung positif darl dipolar.


Gambar 7.  Molekul air dipolar dalam lapisan ganda

(2)     Tarikan antara kation-kation dalam lapisan ganda dengan muatan negatif dari ujung dipolar. Kation-kation ini tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif.
(3)     Andil atom-atom hidrogen dalam molekul air, yaitu dengan ikatan hidrogen antara atom oksigen dalam partikel lempung dan atom oksigen dalam molekulmolekul air.
Air yang tertarik secara elektrik, yang berada di sekitar partikel lempung, disebut air lapisan ganda (double-layer water). Sifat plastis tanah lempung adalah akibat eksistensi dari air lapisan ganda. Ketebalan air lapisan ganda untuk kristal kaolinite dan montmorillonitediperlihatkan dalam Gambar 8.

Gambar  8.   Air partikel lempung
                        (a)  Kaolinite
                        (b)  Montmorillonite (T.W. Lambe, 1960).

air lapisan ganda pada bagian paling dalam, yang sangat kuat melekat pada partikel disebut air serapan (adsorbed water). Pertalian hubungan mineral-mineral dengan air serapannya, memberikan bentuk dasar dari susunan tanahnya. Tiap-tiap partikel saling terikat satu sama lain, lewat lapisan air serapannya. Maka, adanya ion-ion yang berbeda, material organik, beda konsentrasi, dan lain-lainnya akan berpengaruh besar pada sifat tanahnya. Partikel lempung dapat tolak-menolak antara satu dengan yang lain secara elektrik, tapi prosesnya bergantung pada konsentrasi ion, jarak antara partikel, dan faktor-faktor lainnya. Secara sama, dapat juga terjadi hubungan tarik-menarik antara partikelnya akibat pengaruh ikatan hidrogen, gaya van der Waals, macam ikatan kimia dan organiknya. Gaya antara partikel berkurang dengan bertambahnya jarak dari permukaan mineral seperti terlihat pada Gambar 9. Bentuk kurva potensial sebenarnya akan tergantung pada valensi dan konsentrasi ion, larutan ion dan pada sifat dari gaya-gaya ikatannya.
Jadi, jelaslah bahwa ikatan antara partikel tanah yang disusun oleh mineral lempung akan sangat besar dipengaruhi oleh besarnya jaringan muatan negatif pada mineral, tipe, konsentrasi, dan distribusi kation-kation yang berfungsi untuk mengimbangkan muatannya. Schofield dan Samson (1954) dalam penyelidikan pada kaolinite, Olphen (1951) dalam penyelidikan pada montmorillonite, menemukan bahwa jumlah dan distribusi muatan residu jaringan mineral, bergantung pada pH airnya. Dalam lingkungan dengan pH yang rendah, ujung partikel kaolinite dapat menjadi bermuatan positif dan selanjutnya dapat menghasilkan gaya tarik ujung ke permukaan antara partikel yang berdekatan. Gaya tarik ini menimbulkan sifat kohesifnya.


Gambar 9.  Hubungan potensial elektrostatis, kimia, dan sebagainya, dengan jarak permukaan lempung

1.4    Susunan Tanah Granuler
Butiran tanah yang dapat mengendap pada suatu larutan suspensi secara individu tak bergantung pada butiran yang lain (butiran lebih besar 0,02 mm) akan berupa susunan tunggal. Sebagai contohnya, tanah pasir, kerikil, atau beberapa campuran pasir dan lanau. Berat butiran menyebabkan butiran itu mengendap. Susunan tanah (Gambar 10) mungkin tidak padat (angka pori tinggi atau kerapatan rendah) atau padat (angka pori rendah atau kerapatan tinggi). Angka pori tergantung pada distribusi ukuran butiran, susunan, serta kerapatan butirannya.

Gambar 10.  Susunan butiran tanah granuler

Tanah granuler dapat membentuk hubungan sarang lebah (honeycomb) (Gambar 11) yang dapat mempunyai angka pori yang tinggi. Lengkungan butiran dapat mendukung beban statis, tapi susunan ini sangat sensitif terhadap longsoran, getaran, atau beban dinamis. Adanya air dalam susunan butiran yang sangat tidak padat dapat mengubah sifat-sifat teknisnya.
Kerapatan relatif sangat berpengaruh pada sifat teknis tanah granuler. Karena itu, diperlukan pengujian terhadap contoh-contoh tanah pasir pada kondisi kerapatan relatif yang sama seperti kondisi lapangannya. Akan tetapi, pengambilan contoh benda uji untuk tanah pasir yang longgar di lapangan, sangat sulit. Material ini sangat sensitif terhadap getaran, sehingga sangat sulit untuk menyamakan kondisinya, sama seperti kondisi asli di lapangan. Karena itu, dalam praktek digunakan beberapa macam alat penetrasi untuk mengetahui sifat-sifat tanah granuler. Pada cara ini, nilai tahanan penetrasi secara kasar dihubungkan dengan nilai kerapatan relatifnya.


Gambar 11.  Susunan sarang lebah

Perlu diperhatikan bahwa dalam banyak masalah teknis, karakteristik tanah granuler tidak cukup hanya ditinjau kerapatan relatifnya saja. Sebab, ada kemungkinan dua tanah pasir dengan angka pori dan kerapatan relatif yang sama, mempunyai susunan butiran yang berbeda. Kondisi demikian akan mengakibatkan perbedaan pada sifat teknisnya. Pada Gambar 12, kedua tanah pasir identik, keduanya mempunyai distribusi ukuran butiran yang sama dan angka pori yang sama, tapi susunannya jelas sangat berbeda. Sejarah tegangan yang pernah dialami pada waktu yang lampau, merupakan suatu faktor yang harus dipertimbangkan. Lapisan tanah granuler yang pernah mengalami pembebanan yang lebih besar dari tekanan yang ada sekarang,. akan mempunyai sifat tegangan-regangan dan penurunan yang sangat berbeda dari jenis tanah granuler yang belum pernah menderita beban yang lebih besar dari sekarang (Lambrecbts dan Leonard, 1978).


Gambar 12.  Tanah dengan kerapatan realtif yang sama, tapi susunan butirannya berbeda (Leonard, 1978)

1.5    Penyesuaian antara Partikel-partikel
Tinjauan struktur tanah meliputi pertimbangan komposisi mineral dan sifat-sifat elektrik dari partikel padatnya. Demikian juga mengenai bentuk, penyesuaian terhadap yang lain, sifat dan kelakuannya terhadap air tanah, komposisi ion, serta gaya tarik antara partikelnya. Gaya tarik antara partikel pada tanah-tanah berbutir kasar sangat kecil. Pada tanah jenis ini, bentuk partikel akan sangat mempengaruhi sifat teknisnya. Sebagai contoh, pada sedimen pasir, khususnya butiran yang besar, sedikit perubahan dari bentuk bulat ke bentuk kubus cukup menyebabkan variasi yang besar pada karakteristik permeabilitas dalam arah paralel maupun tegak lurusnya. Selanjutnya, posisi butiran relatif juga akan berpengaruh besar terhadap stabilitas, permeabilitas dan karakteristik perubahan bentuknya, dan juga akan berpengaruh pada distribusi tegangan di dalam lapisan tanahnya. jarak antara partikel juga mempengaruhi ikatan antar partikelnya.


Gambar 13.  Skema susunan partikel (Rosenqvist, 1959)

Susunan partikel dapat dibagi atas 2 macam (Rosenqvist, 1959), yaitu: susunan terflokulasi (flocculated) (hubungan tepi partikel yang satu dengan permukaan partikel yang lain) dan susunan terdispersi (dispersed) (hubungan permukaan partikel yang satu dengan permukaan partikel yang lain) (Gambar 13). Sifat endapan lempung akan mempunyai lebih atau kurang susunan terflokulasi, tergantung dari lingkungan di mana tanah tersebut berada.
Pada peristiwa konsolidasi, cenderung terjadi penyesuaian partikel ke bentuk susunan terflokulasi atau paralel. Dalam hal konsolidasi satu dimensi (one dimensional consolidation), seluruh partikel kadang-kadang menyesuaikan sendiri ke dalam bidang paralel (Hvorslev, 1938; Lambe, 1958) (Gambar 14a).


Gambar 14.  Skema penyesuaian partikel lempung

Pembentukan tanah secara acak menghasilkan pengelompokan penyesuaian susunan partikel yang sejajar secara acak (Michaels, 1959) (Gambar 14b). Regangan geser juga cenderung untuk menyusun partikel dalam tipe susunan terdispersi (Seed dan Cban, 1959) (Gambar 14c).

1.6    Analisis Ukuran Butiran
Sifat-sifat tanah sangat bergantung pada ukuran butirannya. Besarnya butiran dijadikan dasar untuk pemberian nama dan klasifikasi tanahnya. Oleh karena itu, analisis butiran ini merupakan pengujian yang sangat sering dilakukan.
Analisis ukuran butiran tanah adalah penentuan persentase berat butiran pada satu unit saringan, dengan ukuran diameter lubang tertentu.

1.6.1 Tanab Berbutir Kasar
Distribusi ukuran butir darl tanah berbutir kasar dapat ditentukan dengan cara menyaringnya. Tanah benda uji disaring lewat satu unit saringan standar untuk pengujian tanah. Berat tanah yang tinggal pada masing-masing saringan ditimbang dan persentase terhadap berat kumulatif pada tiap saringan dihitung. Contoh nomor-nomor saringan dan diameter lubang dari standar Amerika dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 4. Saringan standar Amerika
Nomer Saringan
Diameter Lubang, mm
3
4
6
8
10
16
20
30
40
50
60
70
100
140
200
270
6,35
4,75
3,35
2,36
2,00
1,18
0,85
0,60
0,42
0,30
0,25
0,21
0,15
0,106
0,075
0,053

1.6.2 Tanah Berbutir Halus
Distribusi ukuran butiran dari tanah berbutir halus atau bagian berbutir halus dari tanah berbutir kasar, dapat ditentukan dengan cara sedimentasi. Metode ini didasarkan pada hukum Stokes yang berkenaan dengan kecepatan butiran mengendap pada larutan suspensi. Menurut Stokes, kecepatan mengendap butiran dapat ditentukan oleh persamaan :

  ( 28 )
dengan
v    =  kecepatan, sama dengan jarak /waktu  ( L / t )
g w  =  berat volume air  ( g / cm3 )
g s  =  berat volume butiran padat  ( g / cm3 )
m    =  kekentalan air absolut  ( g det / cm2 )
D   =  diameter butiran tanah (mm).

Persamaan (28) dapat diubah dalam bentuk,










Dengan menganggap  gw  =  1 gr / cm3,


  ( 29 )




dengan


  ( 30 )




Nilai K merupakan fungsi dari Gs, dan m yang tergantung pada temperatur benda uji. Butiran yang lebih besar akan mengendap lebih cepat dan sebaliknya butiran lebih halus akan mengendap lebih lama di dalam suspensinya. Hukum Stokes tidak cocok untuk butiran yang lebih kecil dari 0,0002 mm, karena gerak turunnya butiran akan dipengaruhi oleh gerak Brownian. Ukuran butiran diberikan sebagai diameter bola yang akan mengendap pada kecepatan yang sama, pada besar butiran yang sama.
Tanah benda uji sebelumnya harus dibebaskan dari zat organik, selanjutnya dilarutkan ke dalam air destilasi yang dicampur dengan agen pendeflokulasi (deflocculating agent) agar partikelnya menjadi bagian vang terpisah satu dengan yang lain. Kemudian, larutan suspensi ditempatkan pada tabung sedimentasi. Dengan Hukum Stokes, hubungan waktu ( t ) untuk ukuran-ukuran butiran tertentu ( D ) ( diameter pengendapan ekivalen ) pada kedalaman suspensinya dapat ditentukan. Pada waktu tertentu ( t1 ) benda uji diambil dengan pipet pada kedalaman tertentu di bawah permukaan. Benda uji yang terambil ini akan berisi hanya butiran yang lebih kecil dari diameter tertentu D1. Jika benda uji diambil darl kedalaman tertentu pada waktu-waktu yang dihubungkan dengan pemilihan butiran yang lain, maka distribusi ukuran butirannya dapat ditentukan dari berat endapannya.
Cara hidrometer juga biasa digunakan, yaitu dengan memperhitungkan berat jenis suspensi yang tergantung dari berat butiran tanah dalam suspensi pada waktu tertentu. Pengujian laboratorium dilakukan dengan menggunakan gelas ukuran .'engan kapasitas 1000 ml yang diisi dengan larutan air, bahan pendispersi dan tanah yang akan diuji. Gambar 15 menunjukkan skema alat uji hidrometer.


Gambar 15.  Alat pengujian hidrometer

Selanjutnya dari cara yang dipilih, yaitu salah satu dari cara sedimentasi atau hidrometer, distribusi ukuran butir tanah digambarkan dalam bentuk kurva semi logaritmis. Ordinat grafik merupakan persentase berat dari butiran yang lebih kecil daripada ukuran butiran yang diberikan dalam absisnya. Untuk tanah yang terdiri dari campuran butiran halus dan kasar, gabungan antara analisis saringan dan sedimentasi dapat digunakan. Dari hasil penggambaran kurva yang diperoleh, tanah berbutir kasar digolongkan sebagai gradasi baik bila tidak ada kelebihan butiran pada sembarang ukurannya dan tidak ada yang kurang pada ukuran butiran sedang. Umumnya, tanah bergradasi baik jika distribusi ukuran butirannya meluas pada ukuran butirannya. Tanah berbutir kasar digambarkan sebagai gradasi buruk, bila jumlah berat butiran sebagian besar mengelompok di dalam batas interval diameter butir yang sempit (disebut dengan tanah seragam). Dan juga dikatakan bergradasi buruk jika butiran besar maupun kecil ada, tapi dengan pembagian butiran yang relatif rendah pada ukuran sedang (Gambar 15).
Nilal D10 didefinisikan sebagai 10% dari berat butiran total yang mempunyai diameter butiran lebih kecil dari ukuran butiran tertentu. D10 = 0,45 mm, artinya 10% dari berat butiran total berdiameter kurang dari 0,45 mm. Ukuran-ukuran yang lain seperti D30, D60 dapat didefinisikan seperti cara di atas. Ukuran D10didefinisikan sebagai ukuran efektif (effective size).
Kemiringan dan bentuk umum dari kurva distribusi dapat digambarkan oleh koefisien keseragaman (coefficient of uniformity), Cu, dan koefisien gradasi (coefficient of gradation), Cc, yang diberikan menurut persamaan :


  
( 31 )



  (32 )



Tanah bergradasi baik jika mempunyai koefisien gradasi Ccantara 1 dan 3 dengan Culebih besar 4 untuk kerikil dan lebih besar 6 untuk pasir, selanjutnya tanah disebut bergradasi sangat baik bila Cu> 15.

Contob soal 11 :
Dari diagram distribusi butiran Gambar 16.  Tentukan D10, Cu dan Cc, untuk tiap kurvanya.

Penyelesaian :
Tanah A  :
Tanah ini termasuk bergradasi baik terlihat dari bentuk kurvanya.  D10 = 0,02 mm ;     D30= 0,6 mm; D60 = 8,5 mm


Gambar 16.  Analisis distribusi ukuran butiran







Karena  Cu  >  15  dan  Cu  antara  1 dan 3,  tanah ini benar bergradasi baik.
(b)    Tanah  B :
Tanah ini bergradasi buruk kalau dilihat dari bentuk kurvanya.
D10  =  0,021 mm ;  D60  =  1 mm







Walau menurut kriteria koefisien keseragaman tanah ini bergradasi baik, tapi karena tidak memenuhi kriteria koefisien gradasi  ( Cc  =  0,076 < 1 ), maka tanah ini masuk golongan gradasi buruk.
(c)    Tanah  C :
Tanah ini termasuk tanah seragam (uniform) kalau dilihat dari bentuk kurvanya.
D10  =  0,35 mm ;  D60  =  0,80 mm







Walaupun  Cc  < 1 , tapi karena Cu  sangat kecil, maka tanah ini masuk golongan gradasi buruk.

Contoh soal 12 :
Hasil pengujian analisis saringan adalah sebagai berikut :
Diameter lubang
( mm )

Berat butiran yang tinggal

( gram )
4,75
2,36
1,18
0,60
0,30
0,21
0,15
0,075
0,0
8,0
7,0
11,0
21,0
63,0
48,0
14,0

Dari  pengujian hidrometer diperoleh data sebagai berikut :
Diameter butiran
( mm )

Berat butiran

( gram )
0,06  −  0,02
0,02  −  0,006
0,006  −  0,002
lebih kecil 0,002
2
1
0
0

Gambarkan kurva distribusi ukuranbutiran, D10  dan nilai koefisien keseragaman  ( Cu ) ! Bagaimana dengan gradasinya ?

Penyelesaian :


Gambar  C.4

Diameter lubang
( mm )
Berat butiran yang tinggal ( gram ) % tinggal % lolos
4,75
2,36
1,18
0,60
0,30
0,21
0,15
0,075
0,0
8,0
7,0
11,0
21,0
63,0
48,0
14,0
0,0
4,6
4,0
6,3
12,0
36,0
27,4
8,0
100
95,4
91,4
85,1
73,1
37,1
9,7
1,7
0,02
0,006
0,006  −  0,002
lebih kecil  0,002
2,0
1,0
0
0
1,1
0,6
0,6

Dari diagram distribusi butiran dapat dilihat:
D10  =   0,15 mm
D30   =   0,18 mm
D60   =   0,26 mm









Maka, tanah bergradasi buruk.

1.7.   Batas-batas Atterberg
Suatu hal yang penting pada tanah berbutir halus adalah sifat plastisitasnya. Plastisitas disebabkan oleh adanya partikel mineral lempung dalam tanah. Istilah plastisitas digambarkan sebagai kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk pada volume yang konstan tanpa retak-retak atau remuk.
Tergantung pada kadar airnya, tanah mungkin berbentuk cair, plastis, semi padat, atau padat. Kedudukan kadar air transisi bervariasi pada berbagai jenis tanah. Kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar air tertentu disebut konsistensi. Konsistensi tergantung pada gaya tarik antara partikel mineral lempungnya. Sembarang pengurangan kadar air menghasilkan berkurangnya tebal lapisan kation dan terjadi penambahan gaya tarik antarpartikelnya. Bila tanah dalam kedudukan plastis, besarnya jaringan gaya antarpartikel akan sedemikian hingga partikelnya bebas untuk relatif menggelincir antara satu dengan yang lainnya, dengan kohesi antaranya tetap terpelihara. Pengurangan kadar air juga menghasilkan pengurangan volume tanah. Sangat banyak tanah berbutir halus yang ada di alam dalam kedudukan plastis.


Gambar  20.  Batas-batas Atterberg

Atterberg (1911), memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airnya. Batas-batas tersebut adalah batas cair, batas plastis, dan batas susut. Kedudukan batas konsistensi dari tanah kohesif disajikan dalam Gambar 20.

1.7.1  Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL), didefinisikan sebagai kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis.


Gambar  21.  Skema alat pengujian batas cair

Batas cair biasanya ditentukan dari pengujian Casagrande (1948). Gambar skematis dari alat pengukur batas cair dapat dilihat pada Gambar 21. Contoh tanah dimasukkan dalam cawan. Tinggi contoh tanah dalam cawan kira-kira 8 mm. Alat pembuat alur (grooving tool) dikerukkan tepat di tengah-tengah cawan hingga menyentuh dasarnya. Kemudian, dengan alat penggetar, cawan diketuk-ketukkan pada landasannya dengan tinggi jatuh 1 cm. Persentase kadar air yang dibutuhkan untuk menutup celah sepanjang 12,7 mm pada dasar cawan, sesudah 25 kali pukulan, didefinisikan sebagai batas cair tanah tersebut.
Karena sulitnya mengatur kadar air pada waktu celah menutup pada 25 kali pukulan, maka biasanya percobaan dilakukan beberapa kali, yaitu dengan kadar air yang berbeda dan dengan jumlah pukulan yang berkisar antara 15 sampai 35. Kemudian, hubungan kadar air dan jumlah pukulan, digambarkan dalam grafik semi logaritmis untuk menentukan kadar air pada 25 kali pukulannya.

1.7.2  Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL), didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air di mana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai retak-retak ketika digulung.

1.7.3  Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas susut (SL), didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air di mana pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Percobaan batas susut dilaksanakan dalam laboratorium dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Bagian dalam cawan dilapisi dengan pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna. Kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas susut dinyatakan dalam persamaan :

  ( 33 )

dengan :
m1   =  berat tanah basah dalam cawan percobaan  ( gr )
m2   =  berat tanah kering oven  ( gr )
vl     =  volume tanah basah dalam cawan  ( cm3)
v2     =  volume tanah kering oven  ( cm3 )
g w    =  berat jenis air

Gambar 22 menyajikan hubungan variasi kadar air dan volume total dari tanah pada kedudukan batas cair, batas plastis dan batas susutnya. Batas-batas Atterberg sangat berguna untuk identifikasi dan klasifikasi tanah. Batas-batas ini sering digunakan secara langsung dalam spesifikasi, guna mengontrol tanah yang digunakan untuk struktur urupan tanah


Gambar 22.     Variasi volume dan kadar air pada kedudukan batas cair, batas plastis, dan batas susutnya

1.7.4  Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Indeks plastisitas (PI) adalah selisih batas cair dan batas plastis.
PI  =  LL  -   PL
Indeks plastisitas akan merupakan interval kadar air di mana tanah masih bersifat plastis. Karena itu, indeks plastis menunjukkan sifat keplastisan tanahnya. jika tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis yang kecil, maka keadaan ini disebut dengan tanah kurus. Kebalikannya, jika tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk. Batasan mengenai indeks plastis, sifat, macam tanah, dan kohesinya diberikan oleh Atterberg terdapat dalam Tabel 5.

Tabel 5.  Nilai Indeks plastisitas dan macam tanah
PI
Sifat
Macam tanah
Kohesi
0

<  7


7  −  17


>  17
Nonplastis

Plastisitas
rendah

Plastisitas
sedang

Plastisitas
tinggi
Pasir

Lanau


Lempung
berlanau

Lempung
Nonkohesif

Kohesif
sebagian

Kohesif


Kohesif

1.7.5  Indeks Cair (Liquidity Index)
Kadar air tanah asli relatif pada kedudukan plastis dan cair dapat didefinisikan oleh indeks cair (liquidity index), LI, menurut persamaan :



             ( 35 )

dengan WN adalah kadar air aslinya. Dapat dilihat dari persamaan ( 35 ) bahwa jika WN= LL, maka indeks cair akan sama dengan 1. Sedang, jika WN a = PL, indeks cair akan sama dengan nol. jadi, untuk lapisan tanah asli yang dalam kedudukan plastis, nilai LL > WN  > PL. Nilai indeks cair akan bervariasi antara 0 dan 1. Lapisan tanah asli dengan WN> LL akan mempunyai LI > 1.

1.8.    Aktivitas
Ketebalan air mengelilingi butiran tanah lempung tergantung dari macam mineralnya. jadi, dapat diharapkan plastisitas tanah lempung tergantung dari :

  1. Sifat mineral lempung yang ada pada butirannya.
  2. Jumlah mineralnya.
Berdasarkan pengujian laboratorium pada beberapa tanah (Skempton, 1953), diperoleh bahwa indeks plastisitas berbanding langsung dengan persen fraksi ukuran lempungnya (yaitu persen dari berat yang le.bih kecil dari ukuran 0,002 mm), seperti yang diberikan dalam Gambar 23.


Gambar 23. Variasi indeks plastis dengan persen fraksi lempung (Skempton, 1953)

Dari hasil pengamatan ini, Skempton (1953) mendefinisikan parameter A yang disebut aktivitas sebagai :





Dengan C  adalah persentase berat dari fraksi ikuran lempung. Aktivitas tanah yang diuji akan merupakan fungsi dari macam mineral lempung yang dikandungnya.

Contoh soal 13 :
Beberapa percobaan penentuan batas-batas konsistensi, menghasilkan data sebagai berikut :
Benda uji

1

2

3

4

Jumlah pukulan
Berat tanah basah
+  cawan             ( gram )
Berat tanah kering
+  cawan             ( gram )
Berat cawan        ( gram )
12

28,15

24,20
15,30
17

23,22

20,89
15,10
23

23,20

20,89
15,20
28

23,18

20,90
15,00

Tentukan batas cair, indeks plastis ( PI ) dan indeks ( LI ) tanah tersebut !  Anggap PL = 20%,  WN = 38%.

Penyelesaian :
Contoh benda uji

















Hasil kadar air  ( w ) dan jumlah pukulan digambarkan pada diagram batas cair pada Gambar C.5.  dari gambar diagram ini, pada 25 x pukulan diperoleh kadar air 39%.  Jadi, batas cair LL = 39%.
Indeks plastis  ( PI )  =  LL  -  PL  =  ( 39 – 20 ) %  =  19 %.
Indeks cair  ( LI )  = 







Gambar C.5.  Hubungan kadar air dan jumlah pukulan

Contoh soal 14 :
Dari pengujian batas susut di laboratorium, diperoleh data sebagai berikut: Berat tanah dalam cawan mula-mula = 47 gram dengan volume 16,25 cm3. Setelah dikeringkan dalam oven, beratnya tinggal 30 grain. Volume ditentukan dengan mencelupkan tanah kering ini ke dalam air raksa. Air raksa yang tumpah seberat 150,96 gram. Hitunglah batas susut tanah ini.

Penyelesaian :

 Gambar  C.6

Dihitung volume tanah setelah kering :
Berat jenis air raksa 13,6 gram /cm3
Volume tanah kering oven : V2 =  150,96 / 13,6  =  11,l cm3
Batas susut ditentukan dengan menggunakan persamaan :









Jadi, batas susut  ( SL ) tanah ini adalah 39,5%.

Contob soal 15 :
Lempung jenuh berbentuk kubus mempunyai volume 1 m3 dengan berat jenis = 2,7 dan batas susut (SL) = 12%. Lempung mempunyai kadar air 20%, dikeringkan di bawah sinar matahari sampai mencapai kadar air 3%. Anggap lempung ini adalah homogen dan isotropis, tentukan tinggi kubus lempung setelah kering.

Penyelesaian :
Karena batas susut adalah batas kadar air di mana tanah tidak mengalami pengurangan volume lagi, maka tinggi kubus setelah kering akan diperhitungkan terhadap kadar air pada batas susutnya, yaitu pada kadar air 12%.
Kondisi sebelum dikeringkan :
Kadar air  w  =  20%
Ww/ Ws  =  0,20   ®    W=  0,20 Ws                                   ( 1 )
Berat  jenis GsWs/ ( Vs gw)  =  2,7 ; Ws =  2,7 Vs                ( 2 )
Dari  ( 1 ) dan ( 2 ) diperoleh hubungan, (gw= 1) :
Ww / Ws  =  0,2  x  2,7 V=  0,54 Vs
Untuk 1 m3 tanah jenuh (tanpa rongga udara),

Volume padat  :





Volume cair  :


Kondisi setelah dikeringkan :
Kadar air yang d.iperhitungkan, w = 12%.
Ww / Ws  = 0,12 ;  Ww = 0,12 Ws
Ws  =  2,7 VsVw  =  0,12 x 2,7 Vs  =  0,32 Vs 
Kondisi sebelum dan sesudah dikeringkan, Vs  tetap sama.
Maka volume air = Vw2 =  0,32  x  0,65  =  0,21 m3
Perubahan volume air  = Vw1  -  Vw2  =  0,14 m3.
Volume tanah setelah kering = 1 - 0,14  =  0,86 m3
jadi, tinggi kubus setelah kering   =  ( 0,86 )1/3  =  0,95 m.

1.9.   Klasifikasi Tanah
Umumnya, penentuan sifat-sifat tanah banyak dijumpai dalam masalah teknis yang berhubungan dengan tanah. Hasil dari penyelidikan sifat-sifat ini kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi masalah-masalah tertentu, seperti :
(1)   Penentuan penurunan bangunan, yaitu dengan menentukan kompresibilitas tanahnya.. Dari sini selanjutnya digunakan dalam persamaan penurunan yang didasarkan pada teori konsolidasi dari Terzaghi.
(2) Penentuan kecepatan air yang mengalir lewat benda uji, guna menghitung koefisien permeabilitasnya. Dari sini kemudian dihubungkan dengan Hukum Darcy dan jaring arus untuk menentukan debit aliran yang lewat struktur tanahnya.
(3)   Untuk mengevaluasi stabilitas tanah yang miring, dengan menentukan kuat geser tanahnya. Dari sini kemudian dimasukkan dalam rumus statika.
Dalam banyak masalah teknis (semacam perencanaan perkerasan jalan, bendungan dalam urugan, dan lain-lainnya), pemilihan tanah-tanah ke dalam kelompok ataupun subkelompok yang menunjukkan sifat atau kelakuan yang sama akan sangat membantu. Pemilihan ini yang kemudian disebut klasifikasi. Klasifikasi tanah sangat membantu perencana dalam memberikan pengarahan melalui cara empiris yang tersedia dari hasil pengalamari yang lalu. Tetapi, perencana harus berhati-hati dalam. penerapannya karena penyelesaian masalah stabilitas, kompresi (penurunan), aliran air yang didasarkan pada klasifikasi tanah sering menimbulkan kesalahan yang berarti.
Kebanyakan klasifikasi tanah menggunakan indeks tipe pengujlan yang sangat sederhana untuk memperoleh karakteristik tanahnya. Karakteristik tersebut digunakan untuk menentukan kelompok klasifikasinya. Umumnya, klasifikasi tanah didasarkan atas ukuran partikel yang diperoleh dari analisis saringan (dan percobaan sedimentasi) dan plastisitasnya.
Sekarang, terdapat dua sistem klasifikasi yang dapat digunakan. Keduanya adalah Unified Soil Clasification System dan AASHTO. Sistem-sistem ini menggunakan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair dan indeks plastisitasnya. Klasifikasi tanah dari sistem Unified mula pertama diajukan oleh Casagrande (1942), kemudian direvisi oleh kelompok teknisi dari USBR (United State Bureau of Reclamation). Dalam bentuk yang sekarang, sistem ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi konsultan geoteknik.


1.10. Sistem Klasifikasi Unifified

Pada sistem Unified, suatu tanah diklasifikasikan ke dalam tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika lebih dari 50% tinggal dalam saringan nomer 200, dan sebagai tanah berbutir halus (lanau dan lempung) jika lebih dari 50% lewat saringan nomer 200. Selanjutnya, tanah diklasifikasikan dalam sejumlah kelompokm dan subkelompok yang dapat dilihat Tabel 1.








Simbol-simbol yang digunakan tersebut adalah :
G   =  kerikil ( gravel )
S    =  pasir ( sand )
C   =  lempung ( clay )
M   =  lanau ( silt )
O   =  lanau atau lempung organik ( organic silt or clay )
Pt   =  tanah gambut dan tanah organik tinggi ( peat and highly organic soil )
W  =  gradasi baik  ( well graded )
P    =  gradasi buruk  ( poorly-graded )
H   =  plastisitas tinggi  ( high-plasticity )
L    =  plastisitas rendah ( low-plasticity ).

Berikut ini diterangkan penggunaan Tabel 1.  Misalnya, dari hasil pengujian laboratorium diperoleh data : batas plastis (PL)  = 16%; batas cair (LL) = 42%, sedang dari analisis saringan diperoleh :
Nomer saringan
% lolos
4
10
40
200
100,0
93,2
81,0
61,5

Karena persentase lolos saringan nomer 200 adalah 61,5%, yang berarti lebih besar dari 50%, maka dalam Tabel 1 harus digunakan kolom bawah yaitu butiran halus. Karena nilai LL = 42% (lebih kecil dari 50%), maka termasuk CL atau ML. Selanjutnya, dicari nilai indeks plastisnya, PI = LL – PL. Dari sini ditemukan nilai PI = 42% - 16% = 26%. Nilai-nilai PI dan LL kemudian diplot pada diagram plastisitas, sehingga akan ditemukan letak titik di atas garis A, yang menempati zone CL. Jadi, jenis tanah tersebut diklasifikasikan sebagai CL (lempung inorganik berplastisitas rendah).
Prosedur untuk menentukan klasifikasi tanah sistem Unified adalah sebagai berikut :
(1)     Tentukan apakah tanah berupa butiran halus atau butiran kasar secara visual atau dengan cara menyaringnya dengan saringan nomer 200.
(2)     Jika tanah berupa butiran kasar :
(a)  Saring tanah tersebut dan gambarkan grafik distribusi butirannya.
(b)  Tentukan persen butiran lolos saringan no. 4. Bila persentase butiran yang lolos kurang dari 50%, klasifikasikan tanah tersebut sebagai kerikil. Bila persen butiran yang lolos lebih dari 50%, klasifikasikan sebagai pasir.
(c)  Tentukan jumlah butiran yang lolos saringan no. 200. Jika persentase butiran yang lolos kurang dari 5%, pertimbangkan bentuk grafik distribusi butiran dengan menghitung Cudan Cc. Jika termasuk bergradasi baik, maka klasifikasikan sebgai GW (bila kerikil) atau SW (bila pasir). Jika termasuk bergradasi buruk, klasifikasikan sebagai GP (bila kerikil) atau SP (bila pasir).
(d) Jika persentase butiran tanah yang lolos saringan no. 200 di antara 5 sampai 12%, tanah akan mempunyai simbol dobel dan mempunyai sifat keplastisan (GW-GM, SW-SM, dan sebagainya).
(e)  Jika persentase butiran tanah yang lolos saringan no. 200 lebih besar 12%, harus diadakan pengujian batas-batas Atterberg dengan menyingkirkan butiran tanah yang tinggal dalam saringan no. 40. Kemudian, dengan menggunakan diagram plastisitas, tentukan klasifikasinya (GM, GC, SM, SC, GM-GC atau SM-SC).
(3)     Jika tanah berbutir halus :
(a)  Kerjakan pengujian batas-batas Atterberg dengan menyingkirkan butiran tanah yang tinggal dalam saringan no. 40. Jika batas cair lebih dari 50, klasifikasikan sebagai H (plastisitas tinggi) dan jika kurang dari 50, klasifikasikan sebagai L (plastisitas rendah),
(b)  Untuk H (plastisitas tinggi), jika plot batas-batas Atterberg pada grafik plastisitas di bawah garis A, tentukan apakah tanah organik (OH) atau anorganik (MH) ! Jika plotnya jatuh di atas garis A, klasifikasikan sebagai CH.
(c)  Untuk L (plastisitas rendah), jika plot batas-batas Atterberg pada grafik plastisitas di bawah garis A dan area yang diarsir, tentukan klasisifikasi tanah tersebut sebagai organik (OL) atau anorganik (ML) berdasar warna, bau, atau perubahan batas cair dan batas plastisnya dengan mengeringkannya di dalam oven.
(d) Jika plot batas-atas Atterberg pada grafik plastisitas jatuh pada area yang diarsir, dekat dengan garis A atau nilai LL sekitar 50, gunakan simbol dobel.

1.11.     Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials Classification) berguna untuk menentukan kualitas tanah guna perencanaan tibunan jalan, subbase dan subgrade. Karena sistem ini ditujukan untuk maksud-maksud dalam lingkup tersebut, penggunaan sistem ini dalam prakteknya harus dipertimbangkan terhadap maksud aslinya.
Sistem klasifikasi AASHTO membagi tanah ke dalam tanah 8 kelompok, A-1 sampai A-8 termasuk sub-subkelompok. Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dengan rumus-rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya analisis saringan dan batas-batas Atterberg. Sistem klasifikasi AASHTO, dapat dilihat dalam Tabel 2.
Indeks kelompok (group index) digunakan untuk mengevaluasi lebih lanjut tanah-tanah dalam kelompoknya. Indeks kelompok dihitung dengan persamaan :
GI = (F – 35) [0,2 + 0,005 (LL – 40)] + 0,01 (F – 15)(PI – 10)  (1.37)
dengan
GI  =  indeks kelompok (group index)
F    =  persen material lolos saringan no. 200
LL =  batas cair
PI  =  indeks plastisitas

Bila nilai indeks kelompok (GI) semakin tinggi, semakin berkurang ketepatan penggunaan tanahnya. Tanah granuler diklasifikasikan ke dalam klasifikasi A-1 sampai A-3. Tanah A-1 granuler yang bergradasi baik, sedang A-3 adalah pasir bersih yang bergradasi buruk. Tanah A-2 termasuk tanah granuler (kurang dari 35% lewat saringan no. 200), tetapi masih terdiri atas lanau dan lempung. Tanah berbutir halus diklasifikasikan dari A-4 sampai A-7, yaitu tanah lempung-lanau. Perbedaan keduanya didasarkan pada batas-batas Atterberg, Gambar 1. dapat digunakan untuk memperoleh batas-batas antara batas cair (LL) dan indeks plastis (PI) untuk kelompok A-4 sampai A-7 dan untuk sub kelompok dalam A-2.


Gambar 1. Nilai-nilai batas-batas Atterberg untuk subkelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7

Dalam Gambar 1, garis A dari Casagrande dan garis U digambarkan bersama-sama. Tanah Organik tinggi seperti tanah gambut (peat) diletakkan dalam kelompok A-8. Hubungan antara sistem klasifikasi Unified dan AASHTO ditinjau dari kemungkinan-kemungkinan kelompoknya, diperlihatkan dalam Tabel 2a dan Tabel 2b. Cara penggunaan sistem klasifikasi AASHTO dinyatakan dalamcontoh soal berikut : Analisis butiran dari suatu tanah tak organik ditunjukan dalam tabel di bawah ini :

Ukuran saringan
( mm )
% lolos
2,000  (no. 10)
0,075  (no. 200)
0,050
0,005
0,002
100
75
65
33
18

Data tanah lainnya, LL = 54%, PI = 23%,
Penyelesaian dari data di atas dengan sistem klasifikasi AASHTO adalah sebagai berikut :
F       =  75%,      lebih besar dari 35% lolos saringan no. 200, maka termasuk jenis lanau atau lempung
LL    =  54%,      kemungkinan dapat dikelompokkan A-5 (41% minimum), A-7-5 atau A-7-6 (41% minimum).
PI     =  23%,      untuk A-5 PI maksimum 10%. Jadi, kemungkinan tinggal salah satu A-7-5 atau A-7-6.
Untuk membedakan keduanya, dihitung PL = LL – PI = 54 – 23 = 31, lebih besar 30. Jika dihitung indeks kelompoknya,
GI  =  (75 – 35)[0,2 + 0,005(54-40)] + 0,01 (75 – 15)(23 – 10).
      =  19  ( dibulatkan )
Mengingat PL > 30%, maka tanah diklasifikasikan A-7-5 (19).
Perhatikan, nilai GI biasanya dituliskan pada bagian belakang dengan tanda kurung. Terdapat beberapa aturan untuk menggunakan nilai GI, yaitu :
(1)         Bila GI < 0, maka dianggap GI = 0.
(2)         Nilai GI yang dihitung dari persamaan (1.37), dibulatkan ke angka yang terdekat.
(3)         Nilai GI untuk kelompok tanah A-1a, A-1b, A-2-5, dan A-3 selalu nol.
(4)         Untuk kelompok tanah A-2-6 dan A-2-7, hanya bagian dari persamaan indeks kelompok yang digunakan GI = 0,01 (F – 15)(PI – 10).
(5)         Tak ada batas atas nilai GI.



Tabel  1.7.   Klasifikasi tanah sistem AASHTO


Catatan : Kelompok A-7 dibagi atas A-7-5 dan A-7-6  bergantung pada batas plastisnya ( PL ).
                Untuk PL > 30, klasifikasinya A-7-5 ;
                Untuk PL < 30, klasifikasinya A-7-6 ;
                np  =  nonplastis


Contoh soal 1.16 :
Analisis saringan dan plastisitas pada 2 contoh tanah ditunjukkan seperti pada Tabel berikut ini.

No. Saringan
Diameter butiran (mm)
Tanah I
( %  lolos )
Tanah I
( %  lolos )
4
10
40
100
200
LL
PL
PI
4,75
2,00
0,425
0,15
0,075
100
92
87
78
61
21
15
6
96
89
41
8
5
--
--
Nonplastis
Klasifikasi kedua jenis tanah tersebut.

Penyelesaian :
Gunakan Tabel 1.6
Gambarkan kurva distribusi butiran untuk kedua contoh tanah ini (Gambar C1.7).
Untuk tanah I, dapat dilihat dari gambarnya , lebih dari 50% lolos saringan no. 200 Atterberg dibutuhkan untuk klasifikasinya. Dari nilai LL = 21 dan PI = 6, menurut diagram plastisitas, tanah termasuk CL – ML.
Tanah II termasuk tanah berbutir kasar, hanya 5% lolos saringan no. 200. Karena 96% tanah lolos saringan no. 4, tanah ini termasuk pasir (bukan kerikil). Perhatikan bahwa material lolos saringan no. 200 = 5%. Dari Tabel 1.6 dapat dibaca bahwa  tanah mempunyai dobel simbol, yaitu SP-SM bergantung pada nilai Cu dan Ccnya. Dari grafik distribusi butiran diperoleh D60 = 0,73 mm, D30= 0,34 mm, D10 = 0,15 mm.
Koefisien keseragaman :







Gambar  2

Koefisien gradasi :






Tanah termasuk bergradasi baik, jika Cc di antara 1 dan 3, sedang Cu > 6, Karena tanah ini tak masuk kriteria tersebut, tanah adalah SP – SM dengan gradasi buruk. Karena butiran halus lanau (nonplastis), tanah adalah SM.

Contoh soal 1.17 :
Analisis saringan pada 2 contoh tanah P dan Q menghasilkan data sebagai berikut :
Perkiraan diameter butiran ( mm )
2
0,6
0,2
0,06
0,02
0,002
Persentase berat
P
100
34
24
20
14
0
Lolos saringan (%)
Q
95
72
60
41
34
19

Tanah P dengan berat volume basah di lapangan 1,70 t/m3, kadar air 21% dan berat jenis 2,65. Tanah Q diperoleh dari contoh asli (undisturbed sample) menghasilkan nilai berat volume basah 2,0 t/m3, kadar air 23%, dan berat jenis 2,68. Klasifikasikan tanah-tanah tersebut. Tanah mana yang mempunyai kemungkinan kuat geser dan tahanan terhadap deformasi (penurunan) yang tinggi.

Penyelesaian :
Penyelesaian dengan menggunakan kurva distribusi sangat tepat. Tapi, ada satu cara yang lain yaitu dengan membagi-bagi kelompok butirannya. Dari klasifikasi butiran menurut MIT :
(a)     Tanah P
         Butiran ukuran pasir       :  ( 100 – 20 )   =   80%
         Butiran ukuran lanau      :  ( 20 – 0 )       =   20%
Dari hitungan ini, dapat disimpulkan bahwa tanah P adalah pasir berlanau (SM), karena unsur pasir lebih banyak.

Berat volume kering :











Dari nilai porositas yang diperoleh, dapat diketahui bahwa tanah P dalam kondisi sangat tidak padat. Oleh karena itu, kuat geser dan tahanan terhadap deformasi sangat rendah.

(b)     Tanah  Q
         Butiran ukuran kerikil       :  ( 100 – 95 )   =   5%
         Butiran ukuran pasir          :  ( 95 – 41 )     =   54%
         Butiran ukuran lanau         :  ( 41 – 19 )     =   22%
         Butiran ukuran lempung   :  ( 19 – 0 )       =   19%
                                                   Total                = 100%

Disini, terlihat sejumlah material butiran halus. Pengujian plastisitas diperlukan pada ukuran butiran halus untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya. Dari pembagian ukuran butiran, tanah ini termasuk pasir berlanau-berlempung (SC) karena 19% butiran ukuran lempung akan memberikan nilai kohesi yang berarti.










Karena terdapat butiran ukuran lempung, maka perlu ditinjau kadar airnya. Berat air dalam 1 m3tanah = 2 - 1,63 = 0,37 m3.
Volume air = 0,37 m3  ( BJ air 1 t / m3 ).
Kadar air (w) telah diketahui 23%.
Volume rongga dalam 1 m3  =  0,39 m3.



Tanah ini hampir mendekati jenuh, maka diharapkan tanah ini tidak akan menderita kehilangan kuat geser yang berarti pada waktu jenuh sempurna. Kadar airnya (w = 23%) relatif rendah bila ditinjau dari segi plastisitasnya. Tanah ini relatif akan mempunyai kuat geser yang tinggi dan tahanan yang baik terhadap deformasi (penurunan).  Karena itu, tanah Q lebih ideal untuk keperluan perencanaan bangunan.
Analisis di atas berguna sebagai pertimbangan awal. Karena, estimasi sifat-sifat tanah akan menjadi bahan pertimbangan untuk melanjutkan penyelidikan tanah secara detail. Hal ini terutama untuk keperluan proyek-proyek yang besar. Untuk mengetahui sifat tanah tersebut secara detail harus diadakan penyelidikan lebih lanjut.

Contob soal 1.18 :
Uraikan karakteristik tanah-tanah yang diberikan oleh sistem klasifikasi Unified di bawah ini :

Tanah
L L
P I
Klasifikasi
A
B
0
42 %
0
41%
GW
CL

Penyelesaian :
(a)     Tanah A
Tanah A adalah kerikil bergradasi baik, seperti yang terlihat dalam simbol W. Tanah ini akan memberikan drainasi yang baik dan sudut gesek dalam yang tinggi. jadi, tanah ini merupakan bahan pendukung pondasi yang sangat baik kalau tidak terletak di atas lapisan yang kompresibel (mudah mampat).

(b)     Tanah B
Tanah B adalah lempung (C), tapi dengan batas cair (LL) di bawah 50% (ditanda dengan L dalam klasifikasi). Untuk memperoleh plastisitas yang rendah, lempung in harus dicampur dengan pasir halus atau lanau atau campuran keduanya. Pengujian yang saksama dibutuhkan untuk merencanakan pondasi bangunan atau bila akan digunakan untuk bahan timbunan. jika lempung ini dekat dengan permukaan tanah, kemungkinan pengaruh kembang-susut harus dipertimbangkan.

Contoh soal 1.19 :
Berapakah nilai perkiraan batas cair (LL) yang diharapkan pada tanah X dan Y. Kemudian, jika drainasi alam sangat penting dalam pelaksanaan teknis proyeknya, tanah mana yang lebih cocok untuk itu ?
Diketahui data tanah X dan Y sebagai berikut :

Tanah
L L
P I
Klasifikasi
X
Y
?
?
21%
42%
SP
CH

Penyelesaian :
Tanah X adalah pasir bergradasi buruk, terlihat dalam huruf P dan S dalam klasifikasi. Drainasi pasir ini akan sangat baik, walaupun gradasinya buruk. Batas cair akan nol dan nilai indeks plastisitas 21% pastilah merupakan kesalahan. Atau, jika  nilai PI benar, maka pasti ada partikel lempung di dalam tanahnya, walaupun  disebutkan bahwa tanah adalah SP. Pengecekan lebih lanjut harus dilakukan untuk  menentukan apakah tanah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai SC atau CL.
Tanah Y mempunyai indeks plastis yang sesuai dengan klasifikasinya. Batas cair (LL) akan kira-kira sebesar 60%. Tanah ini diharapkan kedap air. Maka, pada  kondisi yang diberikan dalam soal ini, tanah X lebih cocok.

Contoh soal 1.20 :
Dua jenis tanah kohesif diuji menurut standar pengujian batas plastis dan batas cair.  Batas plastis dari tanah X adalah 22% dan tanah Y adalah 32%. Jelaskan tanah-tanah  ini dan berikan kemungkinan klasifikasinya. Jika benda uji Y mempunyai kadar air  asli lapangan 60% dan kandungan lempung 25%, bagaimana pula dengan indeks cair  dan aktivitasnya ? Apakah yang dapat disimpulkan dari nilai terakhir ini ? Tabel di  bawah ini menunjukkan hasil yang diperoleh dari pengujian batas cairnya.

Jumlah pukulan
Kadar air  ( w )
Tanah  X
Tanah  Y
7
9
14
0,52
0,49
0,47

16
19
21

0,78
0,75
0,73
28
30
0,35
0,33

31

0,66
34
0,32

38
45

0,62
0,60

Penyelesaian :
Plot data pada tabel ke dalam diagram batas cair. Hasilnya seperti Gambar 3. Dari gambar diagram batas cair, dapat dilihat bahwa tanah X mempunyai batas cair LL = 37%, sedang batas cair tanah Y = 69%.
(a)     Tanah X :
PI = LL - PL = (37 - 22)% = 15%.
PI 15% dan LL 37%. Dari diagram plastisitas Tabel 1.6, tanah adalah lempung Tanah, inorganik dengan plastisitas rendah (CL).
(b)     Tanah Y :
PI = (69 - 32)% = 37%.
Karena PI 37% dan LL = 32%, maka tanah adalah lempung inorganik dengan plastisitas tinggi.



Dari nilai aktivitasnya, dapat ditentukan bahwa lempung Y cenderung mengandung lebih besar mineral montmorillonite.



Gambar  3



P E M A D A T A N

2.1    Umum
Tanah, kecuali berfungsi sebagai pendukung pondasi bangunan, juga digunakan sebagai bahan timbunan seperti tanggul, bendungan, dan jalan. Untuk situasi keadaan lokasi aslinya membutuhkan perbaikan guna mendukung bangunan di atasnya, ataupun karena digunakan sebagai bahan timbunan, maka pemadatan sering dilakukan. Maksud pemadatan tanah antara lain :
(1)     Mempertinggi kuat geser tanah.
(2)     Mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas).
(3)     Mengurangi permeabilitas.
(4)     Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air, dan lainlainnya.
Maksud tersebut dapat tercapai dengan pemilihan tanah bahan timbunan, cara pemadatan, pemilihan mesin pemadat, dan jumlah lintasan yang sesuai.
Tanah granuler dipandang paling mudah penanganannya untuk pekerjaan lapangan. Material ini mampu memberikan kuat geser yang tinggi dengan sedikit perubahan volume sesudah dipadatkan. Permeabilitas tanah granuler yang tinggi dapat menguntungkan maupun merugikan.
Tanah lanau yang dipadatkan umumnya akan stabil dan mampu memberikan kuat geser yang cukup dan sedikit kecenderungan perubahan volume. Tapi, tanah lanau sangat sulit dipadatkan bila dalam keadaan basah karena permeabilitasnya rendah.
Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan memberikan kuat geser yang tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang-susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya. Sebagai contoh, lempung montmorillonite akan mempunyai kecenderungan yang lebih besar terhadap perubahan volume dibanding dengan lempung lenis kaolinite. Lempung padat mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik pada waktu basah. Bekerja dengan tanah lempung yang basah akan mengalami banyak kesulitan.
Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut pemadatan. Ada perbedaan yang mendasar antara peristiwa pemadatan dan peristiwa konsolidasitanah. Konsolidasi adalah pengurangan pelan-pelan volume porl yang berakibat bertambahnya berat volume kering akibat beban statis yang bekerja dalam periode tertentu. Sebagai contoh, pengurangan volume pori tanah akibat berat tanah timbunan atau karena beban struktur di atasnya. Dalam tanah kohesif yang jenuh, proses konsolidasi akan diikuti oleh pengurangan volume pori dan kandungan air dalam tanahnya yang berakibat pengurangan volume tanahnya. Pemadatan adalah proses bertambahnya berat volume kering tanah sebagal akibat memadatnya partikel yang diikuti oleh pengurangan volume udara dengan volume air tetap tidak berubah.

2.2    Pengujian Pemadatan
Untuk mencari hubungan kadar air dan berat volume, dan untuk mengevaluasi tanah agar memenuhi persyaratan kepadatan, perlu diadakan pengujian pemadatan.
Proctor (1933) telah mengamati bahwa ada hubungan yang pasti antara kadar air dan berat volume kering supaya tanah padat. Selanjutnva, terdapat satu nilai kadar air optimum tertentu untuk mencapai nilal berat volume kering maksimumnya.
Derajat kepadatan tanah diukur dari berat volume keringnva. Hubungan berat volume kering (gd) dengan berat volume basah (gb) dan kadar air (w), dinyatakan dalam persamaan :



Berat volume tanah kering setelah pemadatan bergantung pada jenis tanah, kadar air, dan usaha yang diberikan oleh alat pemadatnya.. Karateristik kepadatan tanah dapat dinilai dari pengujian standar laboratorium yang disebut dengan Pengujian Proctor. Prinsip pengujiannya diterangkan di bawah ini.
Alat pemadatan berupa silinder mould yang mempunyai volume 9,44 x 10-4 m3 (Gambar 2.1), Tanah di dalam mould dipadatkan dengan penumbuk yang beratnya 2,5 kg dengan tinggi jatuh 30,5 cm. Tanah dipadatkan dalam tiga lapisan dengan tiap lapisan ditumbuk 25 kali pukulan (tanah dengan diameter > 20 mm lebih dulu disingkirkan). Di dalam "pengujian berat", mould yang digunakan masih tetap sama, hanya berat penumbuk diganti dengan yang 4,5 kg dengan tinggi jatuh penumbuk 40,8 cm. Pada percobaan ini, butiran tanah dengan diameter > 20 mm juga harus disingkirkan dengan ditumbuk dalam 5 lapisan.


Gambar 2.1.  Alat Pengujian Proctor

Dalam pengujian pemadatan, percobaan diulang paling sedikit 5 kali dengan kadar air tiap percobaan divariasikan. Selanjutnya, digambarkan sebuah grafik hubungan kadar air dan berat volume keringnya. Sifat khusus kurvanya dapat dilihat pada Gambar 2.2.


Gambar 2.2 Kurva hubungan kadar air dan berat volume kering.

Kurva yang dihasilkan dari pengujian memperlihatkan nilai kadar air yang terbaik untuk mencapai berat volume kering terbesar atau kepadatan maksimum. Kadar air pada keadaan ini disebut kadar air optimum.
Pada nilai kadar air yang rendah, untuk kebanyakan tanah, tanah cenderung bersifat kaku dan sulit dipadatkan. Setelah kadar air ditambah, tanah menjadi lebih lunak. Pada kadar air yang tinggi, berat volume kering berkurang. Bila seluruh udara di dalam tanah dapat dipaksa keluar pada waktu pemadatan, tanah akan berada dalam kedudukan jenuh dan nilai berat volume kering akan menjadi maksimum. Akan tetapi, dalam praktek, kondisi ini sangat sulit dicapai.
Kemungkinan berat volume kering maksimum dinyatakan sebagai berat volume kering dengan tanpa rongga udara atau berat volume kering jenuh, dapat dihitung dari persamaan :



Berat volume kering setelah pemadatan pada kadar air w dengan kadar udara A dapat dihitung dengan persamaan :

Hitungan hubungan berat volume kering dengan tanpa rongga udara dan kadar air untuk G, = 2,65 diberikan dalam Gambar 2.3.



Gambar 2.3.  Berat volume kering dan kadar air untuk berbagai bentuk pemadatan

2.3    Sifat-sifat Tanah Lempung yang Dipadatkan
Sifat-sifat teknis tanah lempung setelah pemadatan akan bergantung pada cara atau usaha pemadatan, macam tanah, dan kadar airnya. Seperti sudah diterangkan di muka, pada percobaan Proctor, usaha pemadatan yang dilakukan dengan lima lapisan akan memberikan hasil tanah yang lebih padat. daripada yang tiga lapisan. jadi, dengan usaha pemadatan yang lebih besar akan diperoleh tanah yang lebih padat. Biasanya, kidar air tanah yang dipadatkan didasarkan pada posisi-posisi kadar air sisi kering optimum (dry side of optimum), dekat optimum atau optimum, dan sisi basah optimum (wet side of optimum). Kering optimum didefinisikan sebagai kadar air yang kurang dari kadar air optimumnya, sedang basah optimum didefinisikan sebagai kadar air yang lebih tinggi daripada kadar air optimumnya. Demikian juga dengan dekat optimum atau optimum, yang berarti kadar air vang kurang lebih mendekati optimumnya.
Penyelidikan pada tanah lempung yang dipadatkan memperliliatkan bahwa bila lempung dipadatkan pada kering optimum, susunan tanah akan tidak bergantung pada macam pemadatannya (Seed dan Chan, 1959). Pemadatan tanah dengan kadar air pada basah optimum akan mempengaruhi susunan, kekuatan geser, serta sifat kemampatan tanahnya. Pada usaha pemadatan yang sama. dengan penambahan kadar air, penyesuaian susunan butiran menjadi bertambah. Pada kering optimum, tanah selalu terflokulasi. Sebaliknya, pada basah optimum susunan tanah menjadi lebih terdispersi beraturan. Dalam Gambar 2.4, susunan tanah pada titik C lebih teratur dari pada A. Jika usaha pemadatan ditambali, susunan tanah cenderung untuk lebih beraturan penyesuaiannya, bahkan berlaku juga pada kondisi kering optimumnya. Dengan melihat Gambar 2.4, contoh dalam titik E lebih teratur dari pada titik A. Sedang pada kondisi basah optimum, susunan pada titik D akan lebih teratur dari pada titik C.


Gambar 2.4.  Pengaruh pemadatan pada susunan tanah  ( Lambe, 1958 )


Gambar 2.5.  Perubahan permeabilitas dengan kadar air yang diberikan  ( Lambe, 1958)

Permeabilitas tanah akan berkurang dengan penambahan kadar airnya pada usaha pemadatan yang sama dan mencapai minimum pada kira-kira kadar air optimumnya. jika usaha pemadatan ditambah, koefisien permeabilitas akan berkurang, sebab angka pori berkurang. Perubahan permeabilitas ini, bersama dengan pembentukan kadar airnya, dituniukkan pada Gambar 2.5. Di sini, terlihat bahwa permeabilitasnya kira-kira lebih tinggi bila tanah dipadatkan pada kering optimum daripada bila tanah dipadatkan pada basah optimum.
Kompresibilitas atau sifat mudah mampat lempung yang dipadatkan adalah fungsi dari tingkat tekanan. yang dibebankan pada tanahnya. Pada tingkat tekanan yang relatif rendah, lempung yang dipadatkan pada basah optimum akan mempunyai sifat  lebih mudah mampat atau kompresibel. Sedang pada tingkat tekanan yang tinggi adalah kebalikannya (tidak mudah mampat).  Dalam Gambar 2.6 telihat bahwa
perubahan (pengurangan) angka pori yang lebih besar terjadi pada tanah yang dipadatkan basah optimum untuk penambahan tekanan diterapkan.
Sifat pengembangan tanah lempung yang dipadatkan, akan lebih besar pada lempung yang dipadatkan pada kering optimum dari pada  yang dipadatkan pada basah optimum. Lempung yang dipadatkan pada kering optimum relatif kekurangan air. Oleh karena itu, lempung ini mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk meresap air. Sebagai hasilnya adalah sifat mudah berkembang. Tanah lempung kering optimum umumnya lebih sensitif pada perubahan lingkungan seperti kadar air. Hal ini kebalikan pada tinjauan penyusutan (Gambar 2.7). Tanah yang dipadatkan pada basah optimum akan mempunyai sifat mudah susut yang lebih besar.



(a) Konsolidasi tekanan rendah


Gambar 2.6 Perubahan kemampatan pada kadar air yang diberikan (Lambe, 1958).

Pada tinjauan kuat geser tanah lempung, tanah yang dipadatkan pada kering optimum akan mempunyai kekuatan yang lebih tinggi daripada yang dipadatkan pada basah optimum. Kuat geser tanah lempung pada basah optimum agak bergantung pada tipe pemadatannya karena perbedaan yang terjadi pada susunan tanahnya. Kurva kekuatan tanah lempung berlanau yang dipadatkan dengan cara remasan (kneading) untuk usaha pemadatan yang berbeda diperlihatkan dalam Gambar 2.8. Gambar ini menunjukkan tekanan yang dibutuhkan untuk memberikan 25% regangan dan 5% regangan untuk tiga usaha pemadatan. Kekuatan tanah kirakira sama pada kondisi basah optimum dan bertambah pada sisi kering optimum. Perhatikan bahwa pada kadar air basah optimum yang diberikan, tekanan pada regangan 5%, ternyata kurang pada energi pemadatan yang lebih tinggi. Kenyataan ini dilukiskan dalam Gambar 2.9, di mana kekuatan didasarkan pada pengujian CBR (California Bearing Ratio). Dalam pengujian ini, tahanan penetrasi piston dengan luas penampang 3 inci 2 diterapkan dalam contoh yang dipadatkan, kemudian dibandingkan dengan tahanan penetrasi dari contoh standar nemadatan kerikil yang dipecah. CBR adalah pengujian untuk perkerasan jalan.
Dalam Gambar 2.9, usaha pemadatan yang lebih besar menghasilkan CBR kering optimum yang lebih besar. Tapi, perhatikan, CBR berkurang pada basah optimum untuk usaha pemadatan yang lebih tinggi. Kenyataan ini penting dalam perencanaan, dan harus dipertimbangkan pada penanganan tanah timbunan. Tabel 2.1 merupakan kesimpulan dari pengaruh kadar air kering optimum dan basah optimum terhadap beberapa sifat teknisnya (Lambe, 1958).







(a) Kuat geser (tekanan yang meyebabkan 25% regangan) terhadap kadar air



(b) Kuat geser (tekanan yang meyebabkan25% regangan) terhadap kadar air



(c)  Berat volume kering terhadap kadar air



Gambar 2.9.  Kuat geser diukur dengan CBR dan berat volume kering, terhadap kadar air untuk pemadatan di laboratorium (Turnbull dan Foster, 1956).
Tabel. 2.1  Perbandingan sifat tanah pada pemadatan kering optimum dan basah optimum (Lambe, 1958)




2.4    Spesifikasi Pemadatan Tanah di Lapangan
Tujuan pemadatan adalah untuk memperoleh stabilitas tanah dan memperbaiki sifat teknisnya. Oleh karena itu, sifat teknis timbunan sangat penting diperhatikan, tidak hanya kadar air dan berat volume keringnya. Prosedur pelaksanaan di lapangan pada umumnya, diterangkan di bawah ini.
Percobaan laboratorium dilaksanakan pada contoh tanah yang diambil dari borrow-material (lokasi pengambilan bahan timbunan), untuk ditentukan sifat-sifat tanah yang akan diterapkan dalam perencanaan. Sesudah bangunan dari tanah (tanggul, jalan, dan sebagainya) direncanakan, spesifikasi dibuat. Pengujian kontrol pemadatan di lapangan dispesifikasikan dan hasilnya menjadi standar pengontrolan proyek. Terdapat dua kategori spesifikasi untuk pekerjaan tanah :
(1)     Spesifikasi hasil akhir dari pemadatan.
(2)     Spesifikasi untuk cara pemadatan.
Untuk kategori pertama, kepadatan relatif atau persen kepadatan tertentu dispesifikasikan (kepadatan relatif adalah nilai banding dari berat volume ke lapangan dengan berat volume kering maksimum di laboratorium menurut percobaan standar, seperti percobaan standar Proctor atau modifikasi Proctor).
Dalam spesifikasi hasil akhir (banyak digunakan pada proyek-proyek jalan raya dan pondasi bangunan), sepanjang kontraktor mampu mencapai spesifikasi kepadatan relatifnya, alat maupun cara apa saja yang akan digunakan, diizinkan.
Untuk kategori kedua, yaitu spesifikasi untuk cara pemadatan, macam dan berat mesin pemadat, jumlah lintasan serta ketebalan tiap lapisan ditentukan. Ukuran butiran maksimum bahan timbunan pun juga ditentukan. Hal ini banyak untuk proyek pekerjaan tanah yang besar seperti bendungan tanah.

2.5    Kontrol Kepadatan di Lapangan
Ada dua macam cara untuk mengontrol kepadatan di lapangan, yaitu pemindahan tanah dan cara langsung. Cara dengan pemindahan tanah adalah berikut :
(1)     Digali lubang pada permukaan tanah timbunan yang dipadatkan.
(2)     Ditentukan kadar airnya.
(3)     Ukur volume dari tanah yang digali. Teknik yang biasa dipakai untuk metode kerucut pasir (sand cone) dan balon karet (rubber baloon). Dalam cara kerucut pasir, pasir kering yang telah diketahui berat volumenya dituangkan keluar lewat kerucut pengukur ke dalam lubangnya. Volume lubang dapat ditentukan dari berat pasir di dalam lubang dan berat volume keringnya. Dalam cara balon karet, volume ditentukan secara langsung dari pengembangan balon yang mengisi lubangnya.
(4)     Dihitung berat volume basahnya (gb). Karena berat dari tanah yang di ditentukan dan volume telah diperoleh darl butir (3), maka gb dapat ditentukan. Dengan kadar air yang telah ditentukan di laboratorium, berat volume lapangan dapat ditentukan.
(5)     Bandingkan berat volume kering lapangan dengan berat volume kering maksimumnya, kemudian hitung kepadatan relatifnya.
Gambar secara skematis dari percobaan kerucut pasir dan balon karet dapat dilihat pada Gambar 2.10a dan Gambar 2.10b. Cara langsung pengukuran kepadatan di lapangan dengan pengujian yang menggunakan isotop radioaktif, disebut dengan metode nuklir. Dalam cara ini pengujian kepadatan di lapangan dapat dilaksanakan dengan cepat. Gambar skematis alat ini dapat dilihat pada Gambar 2.10c.


Gambar 2.10 c

Contoh soal 2.1 :
Untuk mengetahui berat volume tanah di lapangan, dilakukan percobaan kerucut pasir (sand cone). Tanah seberat 4,56 kg digali dari lubang di permukaan tanah.
Lubang diisi dengan 3,54 kg pasir kering sampai memenuhi lubang tersebut.
(a)      Jika dengan pasir yang sama membutuhkan 6,57 kg untuk mengisi cetakan dengan volume 0,0042 m3, tentukan berat volume basah tanah tersebut.
(b)    Untuk menentukan kadar air, tanah basah seberat 24 gram, dan berat kering 20 gram dipakai sebagai benda uji. Jika berat jenis tanah 2,68, tentukan kadar air, berat volume kering, dan derajat kejenuhannya.
Penyelesaian :
(a)          Volume lubang  =     
 
Berat volume basah  gb
(b)         Dari penentuan kadar air  =
          Berat volume kering gb =


Jadi, derajat kejenuhan tanah tersebut  =  90%


Contoh soal 2.2  :
Dalam pengujian pemadatan standar Proctor, diperoleh data sebagai berikut :
Berat volume basah  ( g/cm3 )    :    2,06        2,13        2,15        2,16        2,14
Kadar air  ( % )                          :  12,90      14,30      15,70      16,90      17,90
(a)    Gambarkan grafik hubungan berat volume kering dan kadar air, dan tentukan besarnya berat volume kering maksimum dan kadar airnya.
(b)       Hitung kadar air yang dibutuhkan untuk membuat tanah menjadi jenuh pada berat volume kering maksimum, jika berat jenis tanah  2,73.
(c)         Gambarkan garis rongga udara nol ( zero air void ) dan rongga udara 5%.

Penyelesaian  :
(a)  Dari persamaan :  

w      : 0,129      0,143      0,157      0,169      0,179
g b    :    2,06        2,13        2,15        2,16        2,14
g d    :    1,82        1,86        1,86        1,85        1,82


Dari Gambar C 2.1, diperoleh berat volume kering maksimum  gd  =  1,87  t/m3 dan kadar air optimum wopt  =  14,9%


(b)  Pada berat volume kering   g d  =  1,87  t / m3.
         Untuk 1 m3  benda uji :
         Volume padat  =

         Volume air untuk penjenuhan  =  1 – 0,683 = 0,317  m3
         Berat air  =  0,317  x  1  =  0,317  ton
         Kadar air  w = 0,317 / 1,87 x 100  =  17 %

(c)  Pilihlah nilai-nilai kadar air :


                   
                                  w  % :
14
15
16
17

                             (1 + wG2 ) :

1,38
1,41
1,44

1,49
         - Untuk rongga udara no, 1 – A = 1 ; Gs g w = 2,73





  1. d :
1,98
1,94
1,90

1,83
         - Untuk 5% rongga udara 1 – A = 0,95 ; Gs g w (1 – A) = 2,60





  1. d :
1,88
1,84
1,80

1,74

         Gambar kurvanya dapat dilihat pada  Gambar  C.21.

Contoh soal 2.3 :
(a)    Buktikan persamaan hubungan berat volume kering, untuk sembarang derajat kejenuhan S, sebagai fungsi dari kadar air, berat jenis, dan berat volume air, adalah :

(b)   Buktikan persamaan hubungan berat volume kering terhadap kadar air untuk persen rongga udara tertentu adalah :      

Penyelesaian  :
(a)          Derajat kejenuhan :
( 1 )
Volume air dalam tanah :

  ( 2 )



Dengan kadar air w dalam desimal.

Volume rongga pori :
    ( 3 )

Substitusi persamaan (2) dan (3) ke persamaan (1),







Penyelesaian dari persamaan ini :

   ( terbukti )



(b)         Persen rongga udara

Persamaan  (1) dibagi dengan  Vv , diperoleh
A  =  n ( 1 – S )

  ( 2 )


dalam tanah jenuh sebagian, berlaku  eS = wGS ,
Dengan substitusi nilai S  ke dalam persamaan (2) , diperoleh

( 3 )

Karena

( 4 )

Substitusi persamaan  (3)  ke  (4) ,





Diperoleh,

   
     ( terbukti )

Untuk yang ingin download modul Mekanika Tanah 1 ini, Silahkan Klik 
Disini --> Mektan_1.rar , Atau Klik Disini untuk jenis file pdf --> Mektan_1.pdf .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Night Diamond Bloody Red - Busy Flicker