Banjir
Bandang
Banjir bandang
(flash flood) sering
terjadi dengan menyisakan
duka dan derita
yang
sangat mendalam.
Namun ada satu
misteri yang sampai
saat ini belum
terungkap yaitu:
apa
penyebab utama (determinant factor) terjadinya banjir bandang yang
sangat dahsyat
itu?
Jawaban
ini sangat penting paling tidak untuk menjawab dua pertanyaan pokok yaitu:
(1)
apakah benar
banjir bandang itu
akibat faktor alam
atau ulah manusia?
(2) siapa yang
paling
bertanggungjawab dalam malapetaka ini? Misteri ini harus dijawab secara
tuntas,
karena penanggulangan banjir
selama ini lebih
difokuskan pada penanganan
dampak
pasca banjir
yang sifatnya ad
hock, seperti pemadam
kebakaran dan tidak
mencari akar
masalah esensialnya. Untuk
menjawab pertanyaan ini,
maka diperlukan analisis
sistem
hidrologi
yang mendalam, sehingga dapat mempresentasikan secara utuh hubungan antara
masukan
(input), wadah (system) dan keluaran (output).
Analisis
Sistem Hidrologi
Melalui pendekatan
analisis sistem hidrologi
secara kuantitatif, maka
setiap perubahan
masukan
(curah hujan) dari suatu sistem yang
dinamis dalam hal ini tutupan lahan (land
cover) dan
kualitas penggunaan lahan
(land use) serta
lintasan air dalam
suatu daerah
tangkapan
(catchments) dapat diprediksi karakteristik keluarannya (banir). Dalam
hal ini
banjir
bandang ada dua besaran (magnitude) yang sering digunnakan untuk
menentukan
tingkat bahaya
banjir yaitu: debit
puncak (peak discharge) dan
waktu menuju debit
puncak
(time to peak discharge). Bahkan melalui analisis sistem hidrologi
dapat dilakukan
analisis
sensitivitas (sensitivity analysis) perubahan besarnya curah
hujan (intensitas
dan
durasinya) dan tutupan lahan (jenis, luas, posisi) dan dampaknya terhadap
perubahan
debit
puncak dan waktu menuju debit puncaknya.
Berkaitan
dengan banjir bahorok, maka menurut hukum Hoton besarnya volume air hujan
yang ditransfer
menjadi aliran permukaan
dan debit sungai
merupakan fungsi curahan
hujan yang
jatuh di daerah
tangkapan dikurangi besarnya
interpretasi tajuk (canopy
interception). Kalau
benar luas dan kualitas
hutan di daerah
tangkapan bahorok masih
baik,
maka besarnya substrasi awal curah hujan bisa mencapai 30%, sehingga dari
curah
hujan yang
tercatat sekitar 110
mm/ hari secara
sederhana sudah direduksi
33 mm, dan
hanya
sekitar 77 mm air hujan yang ditransfer menjadi debit. Dengan kondisi
demikian,
maka secara
teoritis meskipun curah
hujan tersebut turun
dalam waktu 2
jam sekalipun
tidak
akan menimbulkan banjir bandang yang sangat luar biasa. Argumen ini
didasarkan
|
pada
hasil komputasi banjir bandang di Kali Garang, Jawa Tengah tahun 1990. Pada
saat itu
banjir bandang terjadi pada curah hujan dengan
kisaran sekitar 200 mm/2-5 jam, itupun
terjadi karena
selama satu minggu
terjadi curah hujan
tinggi secara terus-menerus,
sehingga kondisi
tanah dan tajuknya sudah jenuh. Kondisi ini banjir bandang Semarang
juga didukung
dengan kemiringan DAS
yang sangat curam
(beda tinggi 2000
meter,
dengan panjang
sungai rata-rata 24
km), luas dan
distribusi tutupan lahan
bervegetasi
sangat rendah
<15%).
Lebih jauh,
apabila luas, distribusi dan kondisi hutan benar masih baik, maka kecepatan
aliran air di
sungai utama (main river) akan kurang dari 1 m/detik. Prediksi ini
didasarkan
pada teori
transfer air Beven
dan Kirby yang
menyatakan bahwa aliran
air dimulai dari
areal dekat
sungai yang mengalami
penjenuhan lebih awal
kemudian secara bertahap
menuju areal yang
lebih jauh dari sungai. Kalau benar hutan berfungsi dengan baik, maka
kecepatan aliran
air di lahan akan jauh di bawah 0,7 m/ detik, sehingga kecepatan air di
saluran akan
lebih rendah 1
m/detik. Sementara itu
berdasarkan pemantauan banjir
bahorok, kecepatan
air pada waktu banjir diprakirakan paling tidak 1,4 m/detik. Mengapa
demikian? Hanya
dengan volume dan
kecepatan aliran air
yang tinggi, maka
banjir
bandang sungai
bahorok dapat mengangkat
masa kayu dan
lumpur yang sangat
berat.
Kalaupun ada
yang berargumen lahannya
miring dan terjadi
longsor, maka kondisinya
pasti bersifat
setempat (localized) bukan sistemik.
Berkaitan dengan
kecepatan aliran yang
sangat tinggi, maka
diprakirakan telah terjadi
akselerasi
kecepatan aliran air di lahan maupun di sungai-sungai kecil di hulu (orde DAS
rendah), terutama
di daerah dengan
kerapatan jaringan hidrologi tinggi, sehingga
secara
kumulatif tercermin
dengan melonjaknya kecepatan
aliran air di
sungai utama (main
river). Secara
mekanistik, akselerasi kecepatan
aliran air ini
dapat terjadi akibat:
(1)
perubahan kekasaran
permukaan (surface roughness) (misalnya
dari hutan ke
lahan
gundul), dan
(2) munculnya alur-alur
baru serta perluasan
alur lama akibat
aktivitas
manusia. Dua
kondisi ini selain
meningkatkan kecepatan aliran
permukaan juga
meningkatkan
volume aliran yang dialirkan.
Pemerintah bersama
masyarakat perlu melakukan
dua hal berkaitan
dengan malapetaka
Bahorok ini: (1)
melakukan verifikasi penyebab banjir dan (2) menyusun strategi "flash
flood management". Verifikasi penyebab
banjir sangat mudah
dilakukan apabila
menyertakan
penduduk setempat yang tahu persis besaran kerusakan hutan seperti: luas,
lokasi, jenis,
penyebab dan waktunya. Penggunaan citra satelit dengan resolusi yang tinggi
dan adaptif
terhadap keawanan sangat diperlukan agar identifikasi alih fungsi lahan dapat
dideterminasi
lebih akurat.
Flash flood
Management
Diperlukan tiga
kegiatan utama dalam
pengelolaan banjir bandang
di wilayah rawan
|
banjir: (1)
monitoring spasial dan
temporal besaran curah
hujan serta dinamika
sistem
(tutupan lahan dan jaringan hidrologi) (2)
rekonstruksi model hubungan curah
hujan, transformasi penggunaan
lahan (land use
transformation) dan jaringan
hidrologi
(hydrological
drainage network)
(3) peta evakuasi korban (evacuation map) apabila banjir
bandang terjadi.
Pengelolaan banjir
bandang sangat diperlukan karena, hampir dipastikan jumlah wilayah
rawan banjir terus
meningkat pada bulan Desember sampai awal Pebruari dengan tingkat
bahaya yang
semakin mencemaskan. Berkaitan dengan butir (1) maka pemerintah melalui
Badan Meteorologi dan
Geofisika harus melakukan pemantauan dini
tentang
kemungkinan terjadinya curah
hujan ekstrim (exceptional rainfall) secara
regular.
Penggunaan radar
hujan seperti yang
dilakukan negara-negara maju
sangat diperlukan
agar banjir
dapat dideteksi lebih
dini. Sementara tutupan
lahan harus dipantau
oleh
Departemen
Kehutanan agar dinamika alih fungsi lahan dapat dipresentasikan secara utuh.
Akan lebih adil (fair)
lagi apabila pemantauan tutupan lahan dapat dilakukan pihak ketiga
untuk menjaga
netralitasnya. Sedangkan butir
(2) dengan pendekatan
analisis fraktal
jaringan hidrologi
(fractal hydrological drainage
network), Balai Penelitian
Agroklimat
dan Hidrologi, Badan
Litbang Pertanian telah
menghasilkan model tersebut
dan telah
divalidasi dengan
baik di beberapa DAS seperti: DAS Kali Garang, Semarang, Sub DAS
Cikao, Cilalawi
dan Ciherang ketiganya
di DAS Citarum,
Jawa Barat, DAS
Bunder,
Wonosari, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pendekatan
fraktal ini selain
dapat memodel
hujan menjadi
aliran permukaan secara deterministik berdasarkan kaidah hukum-hukum
fisika, juga
dapat mengakomodir perubahan penggunaan lahan
serta analisis
sensitivitasnya. Adapun
untuk butir (3)
harus dilakukan pemerintah kabupaten
dan
propinsi agar
wilayah-wilayah rawan banjir bandang disusun zona resikonya dan skema
evakuasinya
apabila terjadi banjir bandang. Dengan demikian masyarakat dapat mencari
alternatif lokasi
dengan resiko yang
paling rendah dan
mendapat perlindungan dari
pemerintah sebagai
abdinya.
|
G
a t o t I r i a n t o
Penulis
adalah Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Dimuat
pada Tabloid Sinar Tani, 14 April 2004
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar